08 April 2014

BOLEHKAH ORANG KRISTEN BERPISAH DENGAN PASANGAN SAHNYA LALU MENIKAH LAGI DENGAN ORANG LAIN?


Pak Rudy Sirait, saya lupa, pernahkah pak Rudy tulis mengenai perceraian? Minta tolong dong pak mengupas hal tersebut. Saya percaya jika Gereja Tuhan (dlm hal ini gembala, pendeta) ditanya setuju atau tidak mengenai perceraian, pasti dijawab tidak setuju. Namun sekarang ini di realita banyak anak Tuhan (orang Kristen) yg ditinggal pasangannya pergi, tanpa keputusan cerai pengadilian namun akhirnya menikah lagi. bahkan hamba Tuhan (gembala/pendeta) sudah ada yg demikian. Bagaimana dengan dasar ayatnya ya dalam hal tersebut? Apakah dibenarkan/diijinkan oleh Firman Tuhan (Albert Hananto Prasetyo).
Pak Rudy Sirait Menjawab:
Hati siapa yang tidak miris melihat semaraknya pernikahan pada saat ini yang kandas di tengah jalan? Data dan fakta tentang kasus perceraian dan kekerasan rumah tangga terus mengalami peningkatan secara signifikan. Pernikahan yang kudus, sakral dan monogami itu telah mengalami pergeseran nilai, bahkan kerap dilecehkan. Entah disadari atau tidak pelaku pergeseran nilai dan pelecehan pernikahan yang monogami itu adalah orang Kristen sendiri.

Sangatlah beralasan bila manusia modern lebih memilih untuk tidak menikah karena beranggapan bahwa pernikahan akan mendatangkan penderitaan yang berkepanjangan. Beberapa slogan yang sering dikumandangkan, seperti: “Jomblo sejati”, “I’m alone, but not lonely” atau “kumpul kebo” menunjukkan bahwa pernikahan bukan lagi dianggap penting dan bernilai luhur. Mungkin anda mulai bertanya, kalau Allah mendirikan lembaga pernikahan untuk kebaikan bagi manusia, mengapa fakta yang ada malah sebaliknya? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Saya beranggapan bahwa pertanyaan-pertanyaan di atas bersifat positif untuk mendorong terwujudnya suatu kesadaran akan pentingnya panduan surgawi (perspective biblica) demi mewujudkan keluarga yang utuh, pemulihan keluarga dan kebahagiaan dalam pernikahan yang sedang atau hendak kita bina saat ini. Wih, tampaknya mata anda kian berbinar, itu menandakan bahwa anda sudah tidak sabar untuk segera masuk dalam pembahasan.

Melalui artikel ini akan dibahas dua hal yang bersifat prinsipiil (mengenai atau bertalian dengan prinsip) berkenaan dengan pernikahan Kristen, yaitu: keterlibatan Allah dalam membangun rumah tangga dan pernikahan Kristen yang monogami. Secara pribadi saya merasa tidak malu untuk mengatakan bahwa pandangan-pandangan yang dikemukan dalam tulisan ini dibangun dengan landasan ayat dan prinsip yang terdapat dalam Alkitab. Ayat-ayat Alkitab pendukung dikupas secara induktif melalui pengamatan secara analitis dan síntesis. Selanjutnya disimpulkan secara doktrinal dan praktikal, guna terwujudnya pengajaran yang dapat dipertanggung jawabkan, baik kebenarannya secara teologis maupun aplikasi praktisnya dalam aspek hidup seharí-hari. Saya meyakini bahwa Alkitab adalah kebenaran yang relevan untuk diterapkan, bukan hanya pada kehidupan masa lalu, tetapi juga pada masa kini dan masa yang akan datang.

1. KETERLIBATAN ALLAH DALAM MEMBANGUN RUMAH TANGGA

Kebanyakan pembahasan atau seminar kehidupan keluarga Kristen dimulai dengan manusia, kemudian melibatkan Allah sebagai pelengkap untuk dijadikan “obat penawar” yang dijamin pasti menghidupkan pernikahan yang suma-suam kuku. Namun saya memulai dengan titik tolak yang berbeda. Keluarga adalah milik Allah. Dialah yang mendirikan rumah tangga. Ia juga yang menentukan maksud dan tujuan berumah tangga. Alkitab menyatakan bahwa pernikahan itu adalah kehendak Allah. Pada hakekatnya Allah merancang dan mendirikan lembaga pernikahan untuk kebaikan bagi umat manusia ciptaan-Nya.

Keterlibatan Allah dalam membangun rumah tangga haruslah dominan. Banyaknya kehancuran pernikahan masa kini karena Allah dinon-aktifkan dan prinsip Alkitab diabaikan. Pemazmur secara tegas menyatakan, “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya...” (lihat Mzm. 127:1). Oleh karena itu, Yesus Kristus haruslah menjadi Tuhan dan Tuan dalam kelangsungan hidup berumah tangga. Dialah yang merancang dan mendirikan pernikahan itu maka Dia pula yang harus terlibat dalam pelaksanaan serta pelestariannya. Pintu rumah tangga harus senantiasa terbuka dan mempersilahkan Tuhan hadir di dalamnya, bila tidak maka sia-sialah usaha orang yang membangunnya.

Saat berkotbah di bukit, Tuhan Yesus pernah memakai ilustrasi perihal dasar atau pondasi dalam mendirikan sebuah rumah. Secara tepat, Yesus menjadikan ilustrasi dua macam dasar sebagai penutup dalam kotbah di bukit (baca Mat. 7:24-27). Kekuatan sebuah bangun ditentukan oleh pondasinya. Salah meletakkan pondasi akan berakibat fatal terhadap kualitas gedung bangunannya. Begitu pula dalam membangun rumah tangga, pondasinya harus mendapat perhatian secara serius dan seksama.

Dari perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus dalam Matius 7:24-27, maka secara figuratif ada dua yang mewakili. Yang satu disebut sebagai seorang yang bijaksana karena ia mendirikan rumah di atas batu, sedang yang satunya lagi disebut sebagai orang bodoh karena ia mendirikan rumahnya di atas pasir. Apa makna rohani yang terkandung di balik gambaran antara pasir dan batu? Pasir adalah sesuatu yang mudah bergerak dan bersifat tidak pasti. Sementara batu adalah sesuatu yang bersifat stabil, kokoh dan tangguh. Alkitab memberi penegasan bahwa batu itu adalah Yesus Kristus sendiri (lihat 1 Kor. 10:4 band. Mat. 16:18). Karena itu, rumah tangga harus dibangun di atas dasar yang kokoh, stabil dan pasti. Jangan pernah membangun rumah tangga di atas dasar uang karena fluktuasi uang selalu naik turun, tidak ubahnya seperti pasir yang mudah bergerak dan tidak pasti. Tampaknya orang Batak sangat gamblang dalam memaknainya. Hal itu terungkap jelas melalui parodi khas mereka, “Ada uang abang sayang, tidak ada uang abang melayang.” Bah, macam mana pula kau ini.

Kembali kepada apa yang disampaikan oleh Yesus dalam Matius 7:24-27. Ditegaskan bahwa tidak ada jaminan bahwa rumah itu, entah yang dasarnya dari batu atau dari pasir akan terhindar dari hujan, banjir dan angin. Namun, ditekankan suatu kepastian bahwa rumah yang dibangun di atas batu tidak akan rubuh (Mat. 7:25). Berbeda dengan rumah yang dibangun di atas pasir, yang akhirnya ambruk dan mengalami kerusakan hebat (Mat. 7:27).

Bila rumah tangga dibangun di atas Yesus Kristus yang adalah Batu karang yang teguh, tidak serta merta terhindar dari berbagai persoalan rumah tangga, tetapi beroleh kepastian bahwa rumah tangga tersebut akan mengalami pemeliharaan dan pemulihan dari Tuhan. Memang dengan uang anda dapat membeli rumah mewah, tetapi tidak dengan rumah tangga. Dengan uang anda dapat membeli kosmetik, tetapi tidak dengan kecantikan. Dengan uang anda dapat membeli obat tidur, tetapi tidak dengan tidur nyenyak. Dengan uang anda bisa membayar tenaga pengamanan atau satpam, tetapi tidak dengan keamanan. Dengan Yesus segalanya diberi secara cuma-cuma, asalkan pintu rumah kita senantiasa terbuka untuk kehadiran-Nya. Bahkan, selagi kita tidur pun, Tuhan sudah memberikan berkat kepada kita yang dicintai-Nya (band. Mzm. 127:2).

Jangan pernah dilupakan, bahwa mukjizat yang pertama di buat oleh Yesus dinyatakan dalam suatu pernikahan (lihat Yoh. 2:1-11). Upacara pernikahan di Kana memiliki problema, tetapi karena Yesus diundang hadir dalam pernikahan tersebut dan anggota keluarga membawa problema yang ada kepada-Nya, maka Yesus akan turun tangan untuk mendatangkan kebaikan. Tentu, dengan cara-Nya yang ajaib dan terkadang sulit dimengerti secara akal budi.

Dirikanlah mezbah bagi Tuhan di dalam rumah tangga kita. Jangan semata-mata rumah itu menjadi tempat peristirahatan bagi kita, tetapi juga menjadi tempat bersemayam bagi Allah. Janganlah rumah kita hanya terlihat indah dari luar secara lahiriah, namun semestinya memberi kedamaian batiniah bagi para penghuni di dalamnya. Janganlah semata yang berkumandang musik karaoke atau orkestra klasik, tetapi hendaklah pula berkumandang musik rohani dan orkestra surgawi yang memberi kedamaian hati bagi anggota keluarga yang mendengarkannya.

2. PERNIKAHAN MONOGAMI

Peraturan dan ketetapan Allah dalam suatu pernikahan bersifat kekal dan monogami. Kedua pasangan yang sepakat melangsungkan pernikahan dikatakan, ”bukan lagi dua melainkan satu” (band. Kej. 2:24; Mat. 19:4). Ungkapan ”Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” dalam Kejadian 2:23, dapat pula diartikan bahwa ”ia adalah satu dengan aku.” Hal ini sebagai penegasan bahwa pernikahan adalah milik kita berdua, bukan milik orang ketiga atau orang lain. Karena “mereka bukan lagi dua, melainkan satu”, maka tubuh suami adalah milik isteri semata, bukan milik tetangga sebelah yang mungkin saja rumputnya jauh lebih hijau atau milik WIL alias wanita idaman lain. Begitu pula halnya dengan tubuh isteri adalah milik suaminya semata, bukan milik PIL atau pria idaman lain, apalagi pemuda brondong yang pastinya akan merongrong (1 Kor. 7:3-4).

Paulus menjabarkan pengertian dari ”satu daging” itu dalam hubungan atau kesatuan Kristus dengan gereja-Nya yang bersifat kekal (lihat Ef. 5:31-32). Allah merancang sistem pernikahan secara monogami, dan menetapkan bahwa hanya satu isteri untuk seorang suami, dan hanya satu suami untuk seorang isteri, di luar daripada itu adalah perzinahan (1 Kor. 7:2-3 band. 1 Tim. 3:2). Konsep monogami tercermin jelas dari penggunaan kata ”sendiri” yang berbentuk tunggal di mana artinya adalah satu, bukan dua atau tiga (lihat 1 Kor. 7:2). Karena itu, Allah tidak merestui pernikahan dengan banyak isteri (pologami) atau dengan yang sejenis (homoseksual).

Pernikahan adalah persatuan kekal yang tidak boleh diceraikan oleh manusia, karena Allah sendiri yang telah mempersatukannya. Dalam pandangan Allah, persekutuan pria dan wanita yang ditetapkan dalam pernikahan adalah tetap dan tidak dapat ditiadakan oleh manusia. Itu berarti bahwa pernikahan harus berlangsung secara terus menerus selama suami dan isteri masih hidup. Musa memberi surat cerai karena ketegaran hati bangsa Israel (Mat. 19:8 band. Ul. 24:1-4). Namun pada hakekatnya perceraian tidak diperbolehkan (Mat. 19:6), karena Allah itu sendiri membenci suatu perceraian (band. Mal.2:16). Oleh karena itu, kita harus sepakat bahwa tidak ada satu pun perceraian yang dikehendaki oleh Allah. Kalau ada perceraian itu adalah kehendak dan keputusan yang dibuat oleh manusia.

Mungkin anda bertanya, bukankah dalam Injil Matius 19:9, Yesus Kristus mengijinkan perceraian bila dikarenakan kasus perzinahan? Untuk memahami perihal perceraian karena perzinahan yang diijinkan oleh Yesus, haruslah memahami maknanya secara komprehensif. Kita harus memahami secara utuh perihal maksud Yesus yang dicatat dalam Matius 19:1-12. Kita tidak boleh memisahkan atau mengutip sebagian saja karena pernyataan-Nya saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain.

Mari kita bahas bersama-sama. Ketika orang-orang Farisi mempertanyakan perihal perceraian kepada Yesus, maka Yesus berkata, “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Mat. 19:8; Mrk. 10:4-5). Berarti, keputusan untuk mengijinkan perceraian terhadap pernikahan yang telah dipersatukan oleh Allah bukanlah merupakan kehendak Allah, melainkan keputusan Musa. Pastinya Musa dipengaruhi oleh ketegaran hati bangsa Israel sehingga muncullah Surat Keputusan (SK) perceraian di kalangan masyarakat Israel. Ungkapan “sejak semula tidaklah demikian” menegaskan bahwa pada mulanya hingga periode Musa, tidak ada suatu hukum pun yang melegalkan atau mengijinkan suatu perceraian dalam kelangsungan pernikahan umat Allah.

Ungkapan berikutnya yang perlu dicermati, adalah: “Barang siapa menceraikan isteri, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (lihat Mat. 19:9). Apakah anda memahami kedalaman makna serta permainan kata dari apa yang dikatakan oleh Yesus dalam hal ini? Tampaknya Yesus mengijinkan terjadinya perceraian bila dikarenakan faktor perzinahan. Pertanyaannya, mengapa Yesus mengijinkan perceraian? Alasannya, karena izin perceraian itu sudah disyahkan secara hukum oleh Musa. Namun, melalui ayat ini Yesus memberi peringatan keras dan ketetapan yang baru, bahwa pribadi yang bercerai karena zinah tidak boleh menikah lagi dengan orang lain. Orang yang belum menikah atau yang telah menikah atau juga yang telah ditinggal pasangan hidupnya, bila ia menikah dengan pasangan yang telah bercerai maka hal itu bukanlah suatu pernikahan, melainkan suatu perzinahan di mata Tuhan Yesus. Markus mencatat bahwa ketetapan ini tidak berlaku sepihak, namun berlaku bagi kedua belah pihak, yakni untuk suami dan isteri (lihat Mrk. 10:11-12). Melalui pernyataan-Nya ini, tampaknya Yesus tengah menyanggah hukum Yahudi di mana seorang isteri tidak diperkenankan menceraikan suaminya, namun suami dapat menceraikan isterinya (band. Mat. 5:31-32; 19:9).

Lalu bagaimana bila perceraian yang didasari perzinahan tetap dilangsungkan, namun tidak menikah lagi? Tampaknya hal itu tidak dipersoalkan oleh Yesus dan tentunya bukan merupakan dosa. Dengan kata lain, bila ingin bercerai maka haruslah berketetapan hati untuk tidak menikah lagi. Bila di suatu hari ingin rujuk kembali, menurut hemat saya itu patut dilakukan. Bagi pasangan yang hendak memutuskan untuk bercerai, mungkin bertarak adalah pilihan yang tepat. Dalam kasus tertentu, orang Kristen boleh bertarak atau berpisah untuk sementara waktu dengan persetujuan bersama. Tujuannya supaya mereka dapat menyediakan waktu untuk berdoa, tetapi bertarak tidak boleh dijadikan dalih untuk berpisah lebih lama (lihat 1 Kor. 7:5). Bagaimana bila salah satu pasangan yang bercerai meninggal dunia, lalu pasangan yang masih hidup menikah lagi? Tampaknya hal itu tidak menjadi persoalan! Yang menjadi persoalan, apakah mampu menunggu hingga salah satunya meninggal dunia?

Wah, tampaknya anda mulai terlihat gusar sambil mengajukan pertanyaan, mengapa demikian? Pada hakekatnya hubungan seksual hanya diberlakukan bagi pasangan suami isteri yang diberkati dalam pernikahan yang kudus. Itulah ketetapan ilahi dan cita-cita Allah pada mula pertama merancang dan mendirikan lembaga pernikahan bagi umat manusia. Dalam pernikahan Kristen, suami dan isteri berhak menuntut kesetiaan pasangan hidupnya. Suami bukan semata kepala rumah tangga dan isteri bukan semata menjadi penolong bagi suami sementara di dunia ini, tetapi juga menjadi teman pewaris kehidupan yang kekal (1 Ptr. 3:7). Selama kedua pasangan itu masih hidup, tidak ada alasan apapun yang mengijinkan mereka untuk menikah lagi, kecuali oleh karena kematian.

Hubungan seksual yang dilakukan bukan dengan pasangan hidup adalah perzinahan, apapun alasannya. Orang Ibrani memiliki istilah yang jelas berkenaan dengan hubungan seksual. Kata Ibrani ידע (yadha) yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dengan kata ”bersetubuh” adalah istilah hubungan seksual yang disebut pertama kali (lihat Kej. 4:1). Kata ”yadha” berbeda dengan kata Ibrani שׁכב (shakab), yang diterjemahkan oleh LAI dengan kata “tidur” untuk bersetubuh (lihat Kej. 39:10). Penggunaan kata “shakab” kerap diartikan untuk melakukan hubungan seks di luar pernikahan atau perzinahan (lihat Kej. 30:15-16; 39:10; Kel. 22:16; Ul. 22:22). Hal ini menjadi penegasan bahwa seks itu suci bila aktifitasnya dilakukan dalam suatu pernikahan kudus dengan pasangan hidupnya saja, bukan dengan orang lain. Penyatuan dua pribadi dalam pernikahan kudus adalah hak prerogatif dan milik Allah semata, bukan hak dan milik manusia. Yang namanya manusia, siapapun dia dan apapun pekerjaaannya, sama sekali tidak memiliki hak untuk memutuskan perceraian. Itulah yang ditegaskan oleh Alkitab, bahwa: “apa yang telah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia” (lihat Mat. 19:6; Mrk. 10:9).

Salah satu tujuan pernikahan adalah “menghindari bahaya percabulan” (1 Kor. 7:2). Orang Kristen yang belum menikah bila menikah dengan orang Kristen yang telah bercerai juga dinyatakan sebagai suatu perzinahan, bukan sebagai suatu pernikahan. Perzinahan adalah dosa yang sangat serius di mata Allah dan masuk dalam bagian dari Dasa Firman Allah (Kel. 20:14). Perzinahan adalah suatu kejahatan (Ul. 22:20-22) dan kekejian di mata Allah (band. Ul. 24:4), maka dari itu, tidak ada dasar dan alasan bagi umat Kristiani untuk berpoligami.

Gagasan seperti itulah yang terkandung di balik pernyataan Yesus dalam menyikapi kasus perceraian untuk menikah lagi. Dapatkah Anda menyelami maksud-Nya? Dapatkah Anda melihat hikmat dan kecerdasan yang dimiliki oleh Yesus dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang Farisi kepada-Nya? Bila Yesus spontan memberi larangan, maka secara spontan pula umat Israel akan bereaksi keras, bahkan bersikap anarkis karena menganggap Yesus menentang hukum yang telah ditetapkan oleh Musa. Sebenarnya, surat cerai untuk menikah lagi itu bukan dari Allah, tetapi semata oleh kemauan bangsa Israel yang menekan Musa untuk mengeluarkannya agar mereka dapat menikah lagi. Yesus tidak kompromi dengan perceraian, tetapi malah memberikan pemahaman yang perlu dikaji, sehingga umat Allah mampu menghayati bahwa pernikahan kudus itu bersifat monogami.

Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Yesus, maka murid-murid-Nya pun berkata, “lebih baik jangan kawin” (lihat Mat. 19:10). Dengan kata lain, buat apa bercerai, bila menikah lagi statusnya menjadi berzinah. Dengan mengampuni perbuatan pasangan hidup yang berzinah, maka kita sedang menerapkan hukum kasih, bukan semata menyelamatkan rumah tangga yang tengah kita bangun. Janganlah pernah beranggapan bahwa perceraian akan mendatangkan kebaikan. Malah dengan mengadakan pemulihan keluarga (rekonsiliasi) akan beroleh kebahagian dan keluhuran hidup daripada keputusan untuk bercerai dan menikah lagi. Adalah lebih baik bila tidak menceraikan pasangan yang kita ketahui berzinah karena kita mengampuninya. Kita mengampuni, supaya kita diampuni oleh Allah (Mat. 11:25-26). Musuh saja diperintahkan Tuhan untuk kita ampuni, terlebih pasangan hidup kita haruslah diampuni (Mat. 5:44). Dengan mengampuni maka aktifitas seksual dapat dilaksanakan karena kita tidak tersangkut kasus perzinahan di mata Tuhan Yesus Kristus.

Saat melayani di kota Korintus rasul Paulus diperhadapkan pada persoalan tentang beberapa jemaat yang sudah menjadi Kristen namun pasangan hidupnya masih berbeda iman kepercayaan. Secara tegas rasul Paulus tidak memperbolehkan umat Kristen untuk menceraikan pasangan hidupnya (lihat 1 Kor. 7:10-11). Namun bila pasangan hidupnya minta untuk bercerai maka rasul Paulus berkata, “Biarlah ia bercerai” (1 Kor. 7:15). Perceraian karena perbedaan iman kepercayaan tidak dilarang, namun inisiatif perceraian bukan dari pihak umat Kristen. Umat Kristen harus mengimani bahwa satu orang selamat, maka seisi rumahnya akan diselamatkan (Kis. 16:31). Namun apa yang kita imani bukan semata diharapkan, melainkan juga harus diupayakan. Karena itu perlu diupayakan pemulihan pernikahan dan keseriusan untuk membawa pasangan hidup menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi.

Bila pasangan hidup yang tidak seiman itu terus mendesak suatu perceraian, maka firman Tuhan mengijinkan perceraian itu terjadi. Setelah perceraian dilaksanakan maka orang Kristen dapat menikah lagi dan hal itu tidak dianggap perzinahan, karena sebelumnya mereka belum masuk dalam kategori pernikahan kudus. Namun tidak elok rasanya bila pernikahannya secara cepat dilangsungkan. Mungkin lebih etis bila pasangan hidup yang berbeda iman itu melangsungkan pernikahan terlebih dahulu. Bila pun orang Kristen yang diceraikan pasangan hidup yang tidak seiman itu menikah kembali maka pernikahannya haruslah dengan orang yang seiman agar problema rumah tangga tidak sampai terulang kembali. - end 

Tuhan disebutkan dalam Alkitab juga punya sifat benci, tetapi Ia membenci mengenai apa / sesuatu, Ia tidak pernah membenci seseorang. Dan keserupaan dengan Kristus, itu termasuk jika kita juga membenci apa yang Ia benci. Jika kita sedang bersikap netral, menganggap wajar / biasa saja dengan apa yang Ia benci, jangan-jangan kita sedang berlawanan arus dengan Dia.-- AHa