06 Desember 2010

Kelahiran Yesus (Semangat Natal) membawa sukacita dan memberikan kekuatan menghadapi resiko dan ujian kehidupan.

Para majus dari timur, adalah orang – orang yang berani ambil resiko untuk menjumpai Raja yang baru lahir hanya dengan melihat bintang. Banyak resiko yang mereka harus tanggung, mereka harus melewati jarak yang jauh, dan merasakan ganasnya padang pasir, dimana siang hari suhu bisa mencapai 40 derajat sementara dimalam hari suhu bisa sedemikian dingin hingga mencapai 5 derajat. Belum lagi saat mereka tidak mau memberitahukan perihal kelahiran Yesus kepada Herodes, kemudian mereka dikejar dan akan dibunuh. Kalau mereka tak berani ambil resiko, dunia tidak akan pernah menulis dan menyebut mereka pada majus dari Timur, dan mereka tak akan pernah merasakan pengalaman yang luar biasa melihat sang Mesias. Kelahiran Yesus diwarnai dengan ujian kesetiaan dan ketaatan Yusuf juga pada negara untuk sensus dan Maria untuk mengandung bayi Yesus, ujian penderitaan berjalan jauh dalam keadaan hamil dan kemudian bayi Yesus yang dicari pasukan Herodes dan kisah pembantaian anak-anak yang mengiringinya. Meski Dia Allah yang telah rela lahir dalam kesederhanaan semestinya Dia masih bisa memilih skenario untuk lahir di tempat yang dalam kondisi aman dan nyaman.

Natal & HAM

Tidak berlebihan (khususnya bagi Indonesia) bila bulan Desember dimaknai sebagai bulan kemanusiaan. Diawali hari AIDS sedunia, kemudian disusul hari Pahlawan tanpa tanda jasa Nasional, setelah itu hari HAM -Hak Asasi Manusia- sedunia (di Indonesia juga ada penganugerahan Yap Thiam Hien Award), tak berapa lama kemudian hari Buruh Migran sedunia, lalu hari Ibu. Ditengah semua peringatan dan perayaan tersebut, nuansa Natal juga menggema, karena ada yang telah, ada yang sedang dan ada yang akan merayakan Natal (tidak semua umat merayakan Natal pada tanggal 25 Desember).

Yoh 3:16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Allah adalah (being) kasih, sehingga Ia (telah) mengaruniakan (doing) AnakNya.

Keselamatan adalah ide/inisiatif, pemberian/anugerah Allah.

Dunia dapat diartikan/dipandang secara politik, geografis. Bagaimana Allah memandang dunia ini? Ketika Ia melihat dunia, Ia sedang memandang manusia (setiap orang). Jesus comes to you (and) comes to me.

Allah tidak kepalang tanggung/tidak perhitungan mengasihi manusia, Allah lahir/datang ke dunia memiliki tujuan dan hanya sebuah tujuan untuk menyelamatkan manusia/setiap manusia tidak binasa. Allah tidak pandang bulu, jadi tidak seorangpun atau sekelompok orang pun yang berhak memonopoli Allah.

HAM bertitik pangkal pada kesadaran bahwa setiap orang berharga, berbeda satu sama lainnya. Dengan kata lain, adalah kesadaran mengenai keanekaragaman, pluralitas. Berbeda tanpa membedakan itulah semangat inti HAM. Dengan semangat tersebut dirajutlah kehidupan berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan. Inilah titik temu Natal dan HAM.

Natal itu berarti Allah mendatangi semua orang tanpa terkecuali.

-- inspirasi dari tulisan : Pdt Simon Filantropha, Esai Natal: Natal dan HAM, Jawa Pos 25 Desember 2004, hal.1 --

Kado Natal 2

Di segmen berikutnya, ada seorang anak kecil yang berperan sebagai gembala meletakkan sebuah boneka bayi di palungan bersama sebuah boneka lain yang melambangkan bayi Yesus. Seketika itu teman-temannya bertanya kepada anak kecil tersebut, "Mengapa engkau letakkan sebuah bayi lagi di palungan ini? Bukankah seharusnya hanya ada bayi Yesus saja?" Anak kecil ini dengan lugu menjelaskan, " Saya ingin memberikan hadiah buat Yesus. Tapi aku tidak punya apa-apa. Aku tidak punya uang untuk beli kado. Aku tidak tidak punya mainan. Aku tidak punya sesuatu. Lalu aku berkata pada bayi Yesus, aku tidak punya apa-apa, tetapi aku bisa menemanimu, dan menghangatkanMu. Dan rasanya Yesus tidak keberatan jika aku bersamaNya dalam satu palungan menemani dan menghangatkanNya"

Semangat untuk memberi pada hari Natal biasanya diungkapkan banyak umat di beragam dunia dengan tradisi saling memberi kado. Saudara dapat memberi tanpa mengasihi, tetapi Saudara tidak dapat mengasihi tanpa memberi. Namun, sesungguhnya "bayi Yesus" tidak hanya menginginkan para pengikutNya sekedar memberi kado atau parcel yang bernilai beberapa ribu, bahkan jutaan untuk relasi bisnis. Kadangkala natal bagi Kristen tak lebih dari sebuah pesta tahunan yang sarat dengan kemewahan, penuh gebyar dan semarak. Lupa bahwa Natal harusnya menyentuh relung hati kita, "Apakah yang sudah kita persembahkan bagi Tuhan?" Uang untuk menutup anggaran ibadah (pesta) natal, lalu apa gunanya menjadi donatur terbesar yang membuat orang berdecak kagum karena sumbangan kita sementara ada orang yang samp Natal dengan hura – hura. Bandingkan dengan para majus yang memiliki tekad yang kuat untuk mempersembahkan mas, kemenyan dan mur. Para gembala mempersembaai meninggal gara-gara mengantri dana kompensasi BBM? Kesibukan mempersiapkan, merancang acara yang spektakuler yang menyita banyak waktu kita? Di tengah kondisi bangsa seperti ini, alangkah keji, biadab dan egosentrisnya kita jika kita menggelar pestahkan ketaatannya untuk datang dan menyembah. Ia lebih suka kita mempersembahkan hidup kita kepadaNya (Rom 12:1)

-- cerita ilustrasi diambil dari : renungan harian dan bonus handbook "Spirit" edisi Desember 2005, karangan Petrus Kwik, Solo --

Kado Natal 1

Seorang anak kecil yang sebut saja bernama Dave yang memerankan sebagai pemilik penginapan dalam sebuah pementasan drama Natal. Sutradara pementasan drama tersebut telah melatih Dave untuk bersikap tegas dan keras saat menjadi pemilik penginapan. Meski hanya dalam drama, Dave menghayati perannya itu. Ketika saat pementasan tiba, terlihat Yusuf menggandeng Maria yang kepayahan karena hamil tua. Mereka pergi dari satu penginapan ke penginapan lain, karena tidak ada tempat baginya untuk bersalin.

Ketika Yusuf sekali lagi mengetuk pintu penginapan, Dave yang berperan sebagai pemilik penginapan membuka pintu dengan kasar, berkacak pinggang dan bertanya dengan kasar, "Ada perlu apa?" Yusuf pun menjelaskan bahwa ia dan isterinya yang sedang mengandung menginginkan sebuah kamar. Dave kemudian membentak, "Tidak ada tempat kosong!" Yusuf dan Maria pun berlalu pergi dengan wajah sedih.

Saat itulah kemudian terjadi pementasan diluar skenario, tiba-tiba Dave mengejar pasangan Yusuf dan Maria dan berkata, "Tunggu dulu.." (sutradara dan para pemain yang lain sudah jadi tegang karena bingung dengan apa yang dilakukan Dave, berpikir apakah ia lupa dengan perannya) Dengan air mata menggenang dipipinya, Dave menepuk pundak Yusuf sambil berkata "Kamar di penginapan yang kusewakan memang sudah penuh, tetapi ada 1 kamar, yaitu kamarku kosong, kalian berdua bisa menempatinya!" Dave ternyata seorang pemilik penginapan yang lembut hati, yang tak tega menolak bayi Yesus meski hanya dalam pementasan drama sekalipun.

Begitu sulitnya menemukan Tuhan, demikianlah banyak orang religius berkata. Itu sebabnya untuk mencari Tuhan banyak orang pergi ke gua-gua menyendiri dan mengasingkan dari dunia. Namun ada diantara kita yang tidak sepaham dan berpendapat kalau mencari Tuhan ada di Gereja. Tetapi yang terjadi kadangkala di Gerejapun kita tidak menemukannya. Tuhan ada dimana-mana. Tuhan juga menyatakan diriNya kepada pemilik penginapan tetapi waktu itu dalam rupa bayi yang masih dalam kandungan seorang wanita yang termarginal, hanya karena mata hati yang buta, ia tidak melihat. Tuhan seringkali menyatakan diriNya dalam diri orang yang terbuang dan terpinggirkan. Hanya saja kita buta, tidak peka dan mengeraskan hati untuk memberikan kasih kepada mereka, padahal saat itulah kita berjumpa dengan Tuhan.

Tidak menemukan Tuhan di Gereja karena kepentingan datang ke gereja adalah mencari kekuatan atau kemampuan supranatural untuk mendapatkan berkat yang besar, sehingga dapat memberi sesuatu untuk gereja, bukan Tuhan. Gereja masih punya hajatan sendiri, karena membangun gereja yang besar dan kokoh dalam lingkungannya, dimana "misi" mereka telah dibuka di mana-mana. Menjaring dengan hebat, karena membuka di daerah-daerah kota besar -- yang nota bene banyak gereja di sana -- menjadi misionaris tidak perlu susah-susah lagi, karena cukup membuat acara besar dengan gemerlap dan kekuatan panggung yang besar, sehingga menarik "jiwa-jiwa" baru. Memindahkan kolam yang kecil menuju kolam yang besar dan lengkap. Ini pertumbuhan gereja. Kalau membangun gereja di luar itu, menjadi pendeta atau misionaris yang miskin dan kasihan. "Menginjil" adalah membuat orang kristen menjadi "Lebih Kristen". Ternyata ayat kita harus diubah, karena begitu besar maksud Allah untuk kerajaan-Nya, Ia mengirimkan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya mencari orang percaya lainnya, untuk menjadi satu kerajaan yang besar bagi mereka sendiri (terjemahan bebas Yohanes 3:16 dalam kekinian).

Selamat natal dan selamat merenungkan dan masuk alam nyata.

Kekristenan adalah kemewahan dan kemabukan. Kekristenan adalah jenjang berkarier yang sukses. :p

-- cerita ilustrasi diambil dari : renungan harian dan bonus handbook "Spirit" edisi Desember 2005, karangan Petrus Kwik, Solo --

Natal adalah Pengorbanan


Sebagian besar dari antara kita, kalau yang wanita ingin menjadi Maria dan sebagian lagi, yang pria ingin menjadi Yusuf. Bukankah hebat menjadi Ayah / Bunda dari sang Mesias. Begitu bangga dan kerennya melihat kenyataan Juru Selamat hidup dalam asuhan kita. Belum lagi kenyataan sekarang ini Maria dipuja oleh milyaran orang di dunia sampai sekarang ini. Mimpi apa Maria sehingga dari seorang perawan sederhana tiba – tiba menjadi populer? 

 Apa yang diperbincangkan banyak orang ketika melihat Maria, seorang perawan, yang pasti belum bersuami tiba – tiba hamil. Bagaimana perut yang mulai membesar tak bisa lagi disembunyikan. Maria harus menelan pil pahit, namanya dipergunjingkan banyak orang "diluar terlihat alim, tapi ternyata" atau semisal di bangsa ini bisa dikatakan "dihamili roh halus". Para tetangga tak ada sepinya menggosipkan kabar bahwa ada seorang perawan dengan perut yang menggelembung besar paling tidak selama 9 bulan.   Bagaimana Yusuf harus bergumul mengalahkan keraguan, kecurigaan bahwa tunangannya ternyata tidak setia, selingkuh, main gila dengan pria lain. Bahkan di saat Yusuf bertahan pada pilihannya, namanya juga turut tercoreng karena bisa saja banyak orang menyimpulkan bahwa dia melakukan hal yang tidak senonoh sebelum nikah? 

Yusuf dan Maria adalah orang-orang yang berani berkorban demi rencana keselamatan bagi umat manusia terjadi. Natal juga menyiratkan bahwa Bapa berkorban merelakan AnakNya yang tunggal tak berdosa, berada dalam asuhan manusia biasa dan bahkan mati menanggung dosa manusia.

Natal adalah kelahiran Tuhan yang solider. Bukan kelahiran Tuhan yang miskin tetapi rendah hati.


Flp 2:7  melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri (But made himself of no reputation-KJV),
            dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 

Allah rela meninggalkan 'zona nyaman', solider dengan manusia (dari bahasa Latin, dare: memberi; solus: diri). Dia Raja diatas segala raja, tidak lahir di istana yang megah, tetapi memilih lahir dari keluarga tukang kayu bukan dari kalangan bangsawan. Di Betlehem, sebuah desa kecil yang tak populer dan bukannya di Ibukota. Bukan dibaringkan di spring bed kualitas nomor 1, tapi diletakkan di palungan. Tidak diselimuti dengan wol, sebagai gantinya hanya kain lampin. Bukan dalam penyambutan yang meriah dan semarak, melainkan memilih lahir di tengah kesunyian. Sedemikian miskinkah Yusuf dan Maria sehingga Mesias harus lahir dalam keadaan seperti itu? 

Tentunya peristiwa Natal-kelahiran Yesus, mencerminkan kesederhanaan bukan menggambarkan Yesus yang miskin. Kalau Yusuf dan Maria miskin, tentu mereka tak akan mendatangi penginapan. Mereka punya uang untuk tidur di hotel, tetapi hotel sudah full atau hotel tidak mau menanggung resiko melihat Maria sudah hamil tua seperti itu. Kelahiran Yesus bahkan hidup Yesus dari kandang Betlehem sampai di Kalvari sesungguhnya merupakan cerminan dari rentetan solidaritas Allah yang satu -yang setuntas – tuntasnya dengan manusia yang berdosa dan miskin- ke solidaritas yang lain.   

Karena itu setiap orang Kristen yang setiap hari hidupnya tidak dijiwai semangat Natal (Luk 2:11  Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.) -yaitu menutup mata, telinga, mulut, hati dan indra lainnya terhadap persoalan kemanusiaan, yang membeda–bedakan orang- sesungguhnya tidak pantas disebut orang Kristen.   

Keberadaan jemaat Indonesia masih banyak yang adalah "zoon economicos" atau binatang yang mencari uang untuk kebutuhan mereka sendiri, seperti membangun menara gereja, membangun interior gereja dan membuat gereja supaya nyaman, sehingga pendeta berdoa bagi mereka untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi dan kembali keuntungan berada pada pemimpin gereja yang ada. Mereka masih menjadi "tamu" bagi bangsa sendiri, karena dari minggu sampai ke minggu berikutnya mereka menjadi masyarakat gereja lokal dan melayani di gereja lokal. Melayani adalah aktif di gereja dan persekutuan yang ada di dalam gereja. Gereja menjadi satu tembok yang besar untuk membuat setiap orang tidak mungkin keluar dari tembok tersebut. Kalau keluar mereka telah berkhianat kepada gembala dan "Tuhan" mereka. Padahal Yesus menginginkan anak – anakNya/murid – muridNya memiliki solidaritas seperti diriNya. Kasih (baca: solider) itu harus menjadi identitas anak – anakNya, mengasihi itu sampai pada mengampuni dan sebuah keputusan yang tidak dipengaruhi 'kondisi luar' karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rom 5 : 5).   

Selamat Natal dan solider dengan sesama (Mat 22 : 36 – 40)

-- inspirasi dari tulisan : Tom Saptaatmaja, Menyambut Natal 2004: Kembali ke Makna Sejati, Jawa Pos 25 Desember 2004, hal.4  --