06 Desember 2010

Natal adalah kelahiran Tuhan yang solider. Bukan kelahiran Tuhan yang miskin tetapi rendah hati.


Flp 2:7  melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri (But made himself of no reputation-KJV),
            dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 

Allah rela meninggalkan 'zona nyaman', solider dengan manusia (dari bahasa Latin, dare: memberi; solus: diri). Dia Raja diatas segala raja, tidak lahir di istana yang megah, tetapi memilih lahir dari keluarga tukang kayu bukan dari kalangan bangsawan. Di Betlehem, sebuah desa kecil yang tak populer dan bukannya di Ibukota. Bukan dibaringkan di spring bed kualitas nomor 1, tapi diletakkan di palungan. Tidak diselimuti dengan wol, sebagai gantinya hanya kain lampin. Bukan dalam penyambutan yang meriah dan semarak, melainkan memilih lahir di tengah kesunyian. Sedemikian miskinkah Yusuf dan Maria sehingga Mesias harus lahir dalam keadaan seperti itu? 

Tentunya peristiwa Natal-kelahiran Yesus, mencerminkan kesederhanaan bukan menggambarkan Yesus yang miskin. Kalau Yusuf dan Maria miskin, tentu mereka tak akan mendatangi penginapan. Mereka punya uang untuk tidur di hotel, tetapi hotel sudah full atau hotel tidak mau menanggung resiko melihat Maria sudah hamil tua seperti itu. Kelahiran Yesus bahkan hidup Yesus dari kandang Betlehem sampai di Kalvari sesungguhnya merupakan cerminan dari rentetan solidaritas Allah yang satu -yang setuntas – tuntasnya dengan manusia yang berdosa dan miskin- ke solidaritas yang lain.   

Karena itu setiap orang Kristen yang setiap hari hidupnya tidak dijiwai semangat Natal (Luk 2:11  Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.) -yaitu menutup mata, telinga, mulut, hati dan indra lainnya terhadap persoalan kemanusiaan, yang membeda–bedakan orang- sesungguhnya tidak pantas disebut orang Kristen.   

Keberadaan jemaat Indonesia masih banyak yang adalah "zoon economicos" atau binatang yang mencari uang untuk kebutuhan mereka sendiri, seperti membangun menara gereja, membangun interior gereja dan membuat gereja supaya nyaman, sehingga pendeta berdoa bagi mereka untuk mendapatkan uang yang lebih banyak lagi dan kembali keuntungan berada pada pemimpin gereja yang ada. Mereka masih menjadi "tamu" bagi bangsa sendiri, karena dari minggu sampai ke minggu berikutnya mereka menjadi masyarakat gereja lokal dan melayani di gereja lokal. Melayani adalah aktif di gereja dan persekutuan yang ada di dalam gereja. Gereja menjadi satu tembok yang besar untuk membuat setiap orang tidak mungkin keluar dari tembok tersebut. Kalau keluar mereka telah berkhianat kepada gembala dan "Tuhan" mereka. Padahal Yesus menginginkan anak – anakNya/murid – muridNya memiliki solidaritas seperti diriNya. Kasih (baca: solider) itu harus menjadi identitas anak – anakNya, mengasihi itu sampai pada mengampuni dan sebuah keputusan yang tidak dipengaruhi 'kondisi luar' karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rom 5 : 5).   

Selamat Natal dan solider dengan sesama (Mat 22 : 36 – 40)

-- inspirasi dari tulisan : Tom Saptaatmaja, Menyambut Natal 2004: Kembali ke Makna Sejati, Jawa Pos 25 Desember 2004, hal.4  --


Tidak ada komentar:

Posting Komentar