Dalam
kurun waktu belakangan ini Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Jika
generasi tersebut dilayani dengan maksimal maka akan menghantarkan Indonesia
mengalami kejayaan, namun sebaliknya jika tidak tertangani akan menjadi sebuah
bencana.
Hati
kita tersayat sedih ketika kita melihat situasi dan data yang ada sekarang ini. Kondisi bangsa ini sedang mengalami “Darurat
Anak”. Kita sedang menghadapi serangan peredaran narkoba ke anak-anak, tingginya angka kekerasan, eksploitasi,
penelantaran terhadap anak, serbuan konten pornografi, paham
intoleran serta radikalisme agama dan tantangan bagaimana menyiapkan generasi
milenial memasuki era industri 4.0 dan pergaulan dunia yang makin flat. Dua
tahun terakhir ini masyarakat makin sering diguncang oleh berita kekerasan
terhadap anak; biasanya dilakukan orang terdekat, bahkan dilakukan oleh orang
tuanya sendiri. Yang lebih membuat miris, tak sedikit pelaku kekerasan
/ kejahatan—bahkan pemerkosaan—berasal dari kalangan anak sendiri.[1]
Bagaimana
seharusnya respon Gereja terhadap hal tersebut? Mari kita telusuri beberapa
prinsip kebenaran yang menggambarkan isi hati Bapa kita pada anak-anak.
Hari itu Yesus dan para murid sedang ‘quality time’ di rumah sesaat setelah
Yesus mengajar orang banyak. Tiba-tiba seorang membawa anak-anak kecil pada
Yesus agar Ia memberkatinya. Para murid merasa terganggu dan memarahi orang
tersebut. Tetapi Yesus justru marah pada para muridnya agar tidak
menghalang-halangi anak-anak datang pada Yesus. Sangat
jarang ditulis di Alkitab Yesus marah, tentunya kemarahan ini menunjukkan
bagaimana Ia serius, concern dengan
anak-anak.
Yesus tidak merasa terganggu aktivitasNya, Ia tidak
merasa terlalu lelah sampai harus menolak mereka ketika anak-anak datang
menghampiriNya. Yesus tidak menganggap anak-anak golongan kelas dua. anak-anak
itu berada dalam pusat perhatianNya -
“then Jesus called a little child to Him, set him in the midst of them”
(Mat 18 : 2). Bahkan Tuhan pakai anak—anak untuk
terlibat dan punya peranan penting dalam sejarah bangsa pilihan, setiap kali
bangsa pilihan ada dalam kondisi terpuruk, Ia selalu bangkitkan (pakai)
anak-anak/anak muda :
1. Bangsa Israel terintimidasi dan diejek
lawannya berhari-hari dan Tuhan bangkitkan Daud.
2. Ketika Yahudi akan dimusnahkan dan Tuhan
bangkitkan Ester
3. Ketika bangsa Israel jauh dan jahat
dipandangan Tuhan dan Tuhan bangkitkan Yosia
4. Tuhan juga pakai anak kecil untuk membawa
berita tentang Allah pada Naaman.
5. Tuhan pakai anak kecil yang membawa 5 roti dan 2
ikan untuk memberi makan 5000 orang lebih, di saat mereka terdesak lapar.
Kalau Ia serius dengan anak-anak, kalau
anak-anak itu penting bagi Dia, kita sudah semestinya juga menganggap penting
apa yang Yesus anggap itu penting dan mesti mengasihi apa yang Ia kasihi. Bagaimana sikap hati kita
terhadap anak-anak? Seperti murid yang marah dan menghalangi anak-anak mendekat
pada Yesus atau kita mau memiliki hatiNya, yang serius dan mengasihi anak-anak?
Dengan
cara / pola pikir seperti apakah kita –Gereja ternyata menjadi penghalang bagi
untuk anak-anak datang pada Yesus?
1.
Pola pikir kita (orang dewasa) harus mendidik anak-anak. Tetapi Yesus berkata sesungguhnya jika
kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk
ke dalam kerajaan Sorga.” Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan
menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga[2].
Yesus sedang
mengajak kita bukan hanya mendidik anak-anak tetapi di kala kita sedang bersama
anak-anak kita pun juga harus belajar dari mereka. Merekalah ‘model yang Tuhan
sediakan’ bagi kita untuk masuk dalam Kerajaan Sorga. Ada “double” berkat bagi
kita yang melayani anak-anak yaitu anugerah untuk melayani pemilik Kerajaan
Allah dan kesempatan untuk belajar dari mereka. Yang kita bisa pelajari dari
anak-anak misalnya mudah memaafkan, periang, jujur, apa adanya / murni, tidak
ribet, positif, antusias dan mudah percaya/beriman!
2. Pendapat yang meremehkan
anak-anak dengan mengatakan ‘tidak apa-apa anak-anak dibohongi, karena mereka
belum mengerti’. Tetapi Yesus mengajar muridNya, barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak
kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan
diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.[3]
Kalau kita mengenal Mat 28 : 19 sebagai Amanat Agung
(Terbesar) tetapi Mat 18 : 6 ini adalah mengenai Pengabaian Terbesar!
3.
Asumsi yang menganggap anak-anak belum waktunya mengenal / datang pada Tuhan. Bahkan
kita anggap anak-anak itu penganggu ibadah dan anak-anaklah yang kita
‘kondisikan agar menolong’ orang dewasa beribadah dengan cara menyingkirkan
keberadaan mereka dari ruang ibadah ke ruangan lain. Kita juga mengira
anak-anak akan tersiksa jika mereka diajak menyembah Tuhan. Tetapi bagi Bapa, Ia ingin memastikan setiap
anak-anak mengenalNya, Ia tidak menginginkan seseorang terhilang saat ia masih
kanak-kanak. Yesus berkata, demikian
juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak
ini hilang [4] Ketika Tuhan mencurahkan RohNya
ke atas anak-anak maka anak-anak akan mengalami Roh Kudus sepenuhnya, utuh dan
“bukan Roh Kudus Junior”
Hal yang
menjadi penting untuk diperhatikan adalah siapakah anak atau di manakah tempat
anak dalam gereja? Jika kepada para penatua Petrus menasihatkan untuk menggembalakan kawanan domba Allah yang
dipercayakan kepada mereka (lih. 1Ptr. 5:2), maka pertanyaan yang layak
diajukan: apakah anak juga termasuk kawanan domba Allah? Dalam kehidupan
menggereja, meski anak dianggap penting namun harus diakui perhatian para
pemimpin gereja lebih banyak berfokus pada pelayanan warga jemaat dewasa.
Benarkah sinyalemen ini?
Mari kita
bertanya dalam diri: Bagaimanakah gereja biasa menyebut anak-anak mereka? Anak
Sekolah Minggu atau warga jemaat anak? Mengapa? Bedakah makna keduanya?
Bagaimana pula dengan sebutan ibadahnya? Sekolah Minggu atau Ibadah Sekolah
Minggu atau Ibadah Anak? Mengapa? Apakah ada perbedaan makna dalam
istilah-istilah tadi? Siapakah pemimpin ibadahnya? Apakah mereka memiliki
memiliki kapasitas rohani dan teologi yang memadai? Jika tidak, mengapa? Apakah
gereja kita memiliki visi bagi warga jemaat anak? Tentu ada harga yang harus dibayar. Namun,
harga itu sungguh layak untuk mencetak generasi muda yang dikasihi Allah dan
manusia.
Lagi pula,
”Buat anak kok, coba-coba!”
Referensi :
1. Celikkan Mataku, Yoel Indrasmoro, April 2018
2. Ironi Pelayanan Anak, Jenny Goenawan, November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar