12 September 2019

PANGGILAN DARURAT


Dalam kurun waktu belakangan ini Indonesia sedang mengalami bonus demografi. Jika generasi tersebut dilayani dengan maksimal maka akan menghantarkan Indonesia mengalami kejayaan, namun sebaliknya jika tidak tertangani akan menjadi sebuah bencana.
Hati kita tersayat sedih ketika kita melihat situasi dan data yang ada sekarang ini.  Kondisi bangsa ini sedang mengalami “Darurat Anak”. Kita sedang menghadapi serangan peredaran narkoba ke anak-anak,  tingginya angka kekerasan, eksploitasi, penelantaran terhadap anak, serbuan konten pornografi, paham intoleran serta radikalisme agama dan tantangan bagaimana menyiapkan generasi milenial memasuki era industri 4.0 dan pergaulan dunia yang makin flat. Dua tahun terakhir ini masyarakat makin sering diguncang oleh berita kekerasan terhadap anak; biasanya dilakukan orang terdekat, bahkan dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Yang lebih membuat miris, tak sedikit pelaku kekerasan / kejahatan—bahkan pemerkosaan—berasal dari kalangan anak sendiri.[1]
Bagaimana seharusnya respon Gereja terhadap hal tersebut? Mari kita telusuri beberapa prinsip kebenaran yang menggambarkan isi hati Bapa kita pada anak-anak.
Hari itu Yesus dan para murid sedang ‘quality time’ di rumah sesaat setelah Yesus mengajar orang banyak. Tiba-tiba seorang membawa anak-anak kecil pada Yesus agar Ia memberkatinya. Para murid merasa terganggu dan memarahi orang tersebut. Tetapi Yesus justru marah pada para muridnya agar tidak menghalang-halangi anak-anak datang pada Yesus. Sangat jarang ditulis di Alkitab Yesus marah, tentunya kemarahan ini menunjukkan bagaimana Ia serius, concern dengan anak-anak.

Yesus tidak merasa terganggu aktivitasNya, Ia tidak merasa terlalu lelah sampai harus menolak mereka ketika anak-anak datang menghampiriNya. Yesus tidak menganggap anak-anak golongan kelas dua. anak-anak itu berada dalam pusat perhatianNya - “then Jesus called a little child to Him, set him in the midst of them” (Mat 18 : 2). Bahkan Tuhan pakai anak—anak untuk terlibat dan punya peranan penting dalam sejarah bangsa pilihan, setiap kali bangsa pilihan ada dalam kondisi terpuruk, Ia selalu bangkitkan (pakai) anak-anak/anak muda :
1. Bangsa Israel terintimidasi dan diejek lawannya berhari-hari dan Tuhan bangkitkan Daud.
2. Ketika Yahudi akan dimusnahkan dan Tuhan bangkitkan Ester
3. Ketika bangsa Israel jauh dan jahat dipandangan Tuhan dan Tuhan bangkitkan Yosia
4. Tuhan juga pakai anak kecil untuk membawa berita tentang Allah pada Naaman.
5. Tuhan pakai anak kecil yang membawa 5 roti dan 2 ikan untuk memberi makan 5000 orang lebih, di saat mereka terdesak lapar.

Kalau Ia serius dengan anak-anak, kalau anak-anak itu penting bagi Dia, kita sudah semestinya juga menganggap penting apa yang Yesus anggap itu penting dan mesti mengasihi apa yang Ia kasihi. Bagaimana sikap hati kita terhadap anak-anak? Seperti murid yang marah dan menghalangi anak-anak mendekat pada Yesus atau kita mau memiliki hatiNya, yang serius dan mengasihi anak-anak?

Dengan cara / pola pikir seperti apakah kita –Gereja ternyata menjadi penghalang bagi untuk anak-anak datang pada Yesus? 
1. Pola pikir kita (orang dewasa) harus mendidik anak-anak. Tetapi Yesus berkata sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam kerajaan Sorga.” Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga[2]. Yesus sedang mengajak kita bukan hanya mendidik anak-anak tetapi di kala kita sedang bersama anak-anak kita pun juga harus belajar dari mereka. Merekalah ‘model yang Tuhan sediakan’ bagi kita untuk masuk dalam Kerajaan Sorga. Ada “double” berkat bagi kita yang melayani anak-anak yaitu anugerah untuk melayani pemilik Kerajaan Allah dan kesempatan untuk belajar dari mereka. Yang kita bisa pelajari dari anak-anak misalnya mudah memaafkan, periang, jujur, apa adanya / murni, tidak ribet, positif, antusias dan mudah percaya/beriman!
2. Pendapat yang meremehkan anak-anak dengan mengatakan ‘tidak apa-apa anak-anak dibohongi, karena mereka belum mengerti’. Tetapi Yesus mengajar muridNya, barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.[3] Kalau kita mengenal Mat 28 : 19 sebagai Amanat Agung (Terbesar) tetapi Mat 18 : 6 ini adalah mengenai Pengabaian Terbesar!
3. Asumsi yang menganggap anak-anak belum waktunya mengenal / datang pada Tuhan. Bahkan kita anggap anak-anak itu penganggu ibadah dan anak-anaklah yang kita ‘kondisikan agar menolong’ orang dewasa beribadah dengan cara menyingkirkan keberadaan mereka dari ruang ibadah ke ruangan lain. Kita juga mengira anak-anak akan tersiksa jika mereka diajak menyembah Tuhan.  Tetapi bagi Bapa, Ia ingin memastikan setiap anak-anak mengenalNya, Ia tidak menginginkan seseorang terhilang saat ia masih kanak-kanak. Yesus berkata,  demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorangpun dari anak-anak ini hilang [4] Ketika Tuhan mencurahkan RohNya ke atas anak-anak maka anak-anak akan mengalami Roh Kudus sepenuhnya, utuh dan “bukan Roh Kudus Junior”
Hal yang menjadi penting untuk diperhatikan adalah siapakah anak atau di manakah tempat anak dalam gereja? Jika kepada para penatua Petrus menasihatkan untuk  menggembalakan kawanan domba Allah yang dipercayakan kepada mereka (lih. 1Ptr. 5:2), maka pertanyaan yang layak diajukan: apakah anak juga termasuk kawanan domba Allah? Dalam kehidupan menggereja, meski anak dianggap penting namun harus diakui perhatian para pemimpin gereja lebih banyak berfokus pada pelayanan warga jemaat dewasa. Benarkah sinyalemen ini?
Mari kita bertanya dalam diri: Bagaimanakah gereja biasa menyebut anak-anak mereka? Anak Sekolah Minggu atau warga jemaat anak? Mengapa? Bedakah makna keduanya? Bagaimana pula dengan sebutan ibadahnya? Sekolah Minggu atau Ibadah Sekolah Minggu atau Ibadah Anak? Mengapa? Apakah ada perbedaan makna dalam istilah-istilah tadi? Siapakah pemimpin ibadahnya? Apakah mereka memiliki memiliki kapasitas rohani dan teologi yang memadai? Jika tidak, mengapa? Apakah gereja kita memiliki visi bagi warga jemaat anak?  Tentu ada harga yang harus dibayar. Namun, harga itu sungguh layak untuk mencetak generasi muda yang dikasihi Allah dan manusia.
Lagi pula, ”Buat anak kok, coba-coba!”
Referensi :
1. Celikkan Mataku, Yoel Indrasmoro, April 2018
2. Ironi Pelayanan Anak, Jenny Goenawan, November 2018


[1] Peristiwa terbunuhnya Yuyun (14)— setelah diperkosa secara bergiliran oleh sekelompok remaja pada 2 April 2016 di Rejang Lebong—memperlihatkan bahwa anak tak lagi hanya menjadi korban, tetapi telah menjadi menjadi pelaku kejahatan.
[2] Mat 18 : 3 – 4
[3] Mat 18 : 6
[4] Mat 18 : 19 - 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar