Lebih dari 25 tahun Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Hak Anak. Itulah wujud nyata komitmen pemerintah memberikan jaminan
atas pemenuhan hak-hak dan perlindungan anak Indonesia. Sampai saat ini banyak
kemajuan yang telah ditunjukkan secara nyata oleh pemerintah dalam melaksanakan
KHA, diantaranya menyediakan instrument hukum mengenai perlindungan anak,
kesejahteraan anak, pengadilan anak, pekerja anak, perdagangan anak, juga
pemerintah telah membentuk Komisi Perlindungan Anak serta mengintegrasikan
upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak dalam kebijakan Kota Layak Anak.
Namun demikian, tingkat kekerasan terhadap anak di
Indonesia setiap tahunnya terus meningkat bahkan sejak beberapa tahun
belakangan ini menjadi tahun-tahun yang memprihatinkan bagi dunia anak
Indonesia dan sudah dinyatakan sebagai Darurat Kekerasan Anak. Dalam kurun 4
tahun terakhir telah terjadi lebih dari 21 juta kasus pelanggaran Hak Anak yang
dimonitor Komnas Anak dari berbagai lembaga peduli Anak di 34 provinsi dan di
279 Kabupaten Kota dimana 58% dari pelanggaran hak anak tersebut adalah
kekerasan seksual, selebihnya 42% adalah kasus kekerasan fisik, penyekapan,
penelantaran, pengabaian, adopsi illegal, eksploitasi anak dan perdagangan
anak. Kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di lingkungan tempat tinggal
anak (rumah), sekolah dan ruang publik.
Kondisi darurat tersebut memerlukan sebuah gerakan
luar biasa dalam 1 aksi yang melibatkan banyak kemitraan untuk memutus rantai
kekerasan terhadap anak. Sebelum lebih
lanjut, definisi kekerasan pada anak adalah segala bentuk perbuatan atau
tindakan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikis / mental, dan penelantaran termasuk pemaksaan dan
merendahkan martabat.
Salah 1 lingkungan yang perlu menjadi tempat yang aman
bagi anak yaitu di lingkungan sekolah. Istilah
sekolah berasal dari kata “escole” artinya tempat bermain. Itu berarti
sekolah seharusnya merupakan tempat yang sangat nyaman dan menyenangkan untuk
belajar dan bermain atau bermain dan belajar. Sekolah semestinya bukan
merupakan momok yang menakutkan bagi anak, tetapi justru merupakan sahabat bagi
anak untuk menolong mereka melalui proses pengembangan diri untuk mencapai
tingkat kedewasaan secara maksimal. Sekolah merupakan persemaian luhur penanaman nilai
sebagai bekal menghadapi hari esok. Sekolah merupakan miniatur kehidupan,
sehingga apa yang tergambar di sekolah menjadi potret realitas hubungan sosial
kemasyarakatan. Kesadaran dan perhatian pemerintah mengenai pentingnya peranan
sekolah tertuang dalam UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang salah satu
fokusnya mengenai pencegahan kekerasan dan perlindungan anak berbasis sekolah.
Sekolah Ramah Anak menjadi upaya penyelesaian penghapusan kekerasan berbasis
sekolah.
Sekolah Ramah Anak (SRA) adalah
satuan pendidikan formal, nonformal dan informal yang aman, bersih dan sehat,
peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak
hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah
lainya serta mendukung partisipasi anak tertuma dalam perencanaan, kebijakan,
pembelajaran, pengawaasan dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan
perlindungan anak di pendidikan.
SRA merupakan upaya
untuk mewujudkan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak selama kurang lebih 8
jam berada di sekolah. Melalui upaya sekolah untuk menjadikan sekolah bersih,
aman, ramah, indah, inklusif, sehat, asri dan nyaman.
Dalam pengembangan
SRA, ada tiga faktor pendukung yang mempengaruhi yaitu keluarga
yang berperan sebagai pusat pendidikan utama pertama dan utama bagi anak.
Kedua adalah sekolah. Sekolah memberikan pelayanan pendidikan yang layak
bagi anak. Ketiga adalah masyarakat. Masyarakat menjalin
kerjasama yang baik dengan pihak sekolah sebagai penerima output sekolah.
Ketiga faktor di atas saling mendukung untuk mewujudkan SRA.
Agar SRA dapat
terealisasi maka perlu diperhatikan aspek penyelenggaraannya. Pertama,
kebijakan sekolah yang sesuai yang mendukung tercapaiannya tujuan dari SRA,
yang termasuk didalamnya adalah kurikulum dan program, manajemen, peraturan
yang memihak atau menjamin hak-hak anak. Kedua lingkungan sekolah
yang mendukung. Lingkungan sekolah harus kondusif untuk mendukung tumbuh
kembang anak, menjadi tempat anak mengekspresikan kegembiraan dan mengembangkan
potensi kecerdasan yang mereka miliki serta di dalam lingkungan sekolah juga
terjadi interaksi yang sehat antara guru dan anak, guru dengan orangtua anak. Ketiga
adalah fasilitas sarana, prasarana yang memadai. Ketiga aspek ini sangat
mendukung terwujudnya tujuan dari SRA.
Jika semakin
banyak sekolah menjadi sekolah ramah anak maka anak bisa memiliki lingkungan
(sekolah) yang menjamin pemenuhan hak-haknya sehingga berdampak positif bagi
tumbuh kembangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar