12 September 2019

PEMBANGUNAN IMAN DI GKI SW JATENG ? - Pdt. Bonnie Andreas


Kilas Sejarah

Departemen Pembinaan BPMS GKI Jawa Tengah, tahun 1994 menerbitkan sebuah buku berjudul Pola Dasar Pendidikan – Pembinaan Dalam Rangka Pembangunan Jemaat Gereja Kristen Indonesia Jateng. Buku ini digagas oleh 20-an peserta Pertemuan Studi dan Lokakarya tentang Pembinaan Jemaat. Isinya adalah penjelasan pentingnya pembinaan kategorial.

Pembinaan iman – pendidikan iman Kristen, adalah proses belajar yang berkesinambungan. Pendidikan ini berlangsung dari anak sampai usia lanjut. Meski dalam buku ini digagas pelayanan yang tersegmentasi, namun ditegaskan bahwa pelayanan kategorial dari beragam kategori itu bergerak bersama sebagai sebuah kesatuan.

Dasar dari pendidikan iman ini adalah psikologi perkembangan yang dipahami sebagai sebuah alur yang bergerak maju. Tujuannya adalah menolong seseorang – umat – untuk mengalami peningkatan dari tahap satu (lebih rendah) ke tahap berikutnya yang lebih tinggi. Beberapa teori perkembangan yang menjadi dasar pembangunan pelayanan kategorial GKI SW Jateng adalah:

1.       Psikososial
Erikson menyatakan bahwa manusia memiliki delapan tahap perkembangan. Namun semua tahap perkembangan diri itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan (sosial) seseorang. Dalam pengamatannya, Erikson memahami bahwa meskipun seseorang tidak berhasil baik dalam malampaui suatu tahap, hal itu dapat disempurnakan di tahap berikutnya. Adapun tahapan perkembangan psikososial itu adalah:
a.       Kepercayaan Dasar vs Kecurigaan Dasar (0-2 tahun)
Bayi belajar mempercayakan diri pada lingkungan. Kepercayaan bergantung pada rasa aman yang ditimbulkan oleh lingkungannya.
b.      Otonomi vs Rasa Malu/Bimbang (2-4 tahun)
Pengendalian tubuh (diri) anak melahirkan rasa percaya diri akan kemampuannya.
c.       Inisiatif vs Rasa Bersalah (4-5 tahun)
Apresiasi dan respon positif melahirkan inisiatif yang baik, sebaliknya cercaan akan menghambat perkembangan karena dipengaruhi rasa bersalah
d.      Produktifitas vs Rendah Diri (6-11 tahun)
Apresiasi dan respon positif akan menolong anak semakin produktif
e.      Identitas vs Kebingungan Peran (12-18 tahun)
Peran-peran dipelajari pada tahap sebelumnya. Pada masa remaja mereka mulai membangun identitas dalam peran-peran yang mereka pilih dan jalani. Bila mereka berhasil dengan baik mengenali peran dan membentuknya dalam identitas, mereka akan memasuki tahap selanjutnya dengan lebih baik. Sebaliknya, bila mereka gagal, mereka akan mengalami krisis identitas yang berlanjut ke masa dewasa.
f.        Keintiman vs Isolasi (19-30 tahun)
Identitas diri yang terbangun sebelumnya, menolong seseorang untuk dapat berbagi peran dalam keintiman dengan orang lain (termasuk lawan jenis). Perasaan terisolasi atau tersingkirkan biasanya muncul karena kebingungan peran di tahap sebelumnya.


g.       Generatifitas vs Stagnasi (31-55 tahun)
Dalam masa ini, keinginan untuk berkarya maksimal sangat tinggi. Seseorang mulai belajar memimpin dan mengatur serta memelihara.
h.      Keutuhan vs Keputusasaan (55 tahun ke atas)
Kepuasan pada masa sebelumnya menolongnya merasa tenang dan utuh di masa tua.

2.       Kognitif
Jean Piaget menggagas tahapan perkembangan kognitif dengan ‘menekankan pada kesiapan seseorang untuk siap mengakomodasi dan asimilasi’ terhadap perubahan pemahaman yang terus terjadi dalam hidup.
a.       Tahap Sensorimotoris (0-2 tahun)
Bayi dianggap belum bisa berpikir. Ia hanya menuruti perasaan (bukan kognisi). Pembelajaran pada bayi berkaitan hanya dengan tubuh dan perasaan saja
b.      Tahap Pra-Operation (2-7 tahun)
Anak kecil mulai dapat berpikir hanya dikuasai oleh intuisi dan khayalan. Mereka belum dapat berpikir sistematis (melompat-lompat dan seenaknya)
c.       Tahap Operasi Konkrit (7-11 tahun)
Anak yang lebih besar mulai dapat berpikir logis tetapi hanya berdasar pada obyek yang konkret (bukan abstrak)
d.      Tahap Operasi Formal (11 tahun ke atas)
Di tahap ini, seseorang dapat berpikir logis, sistematis, abstrak, dan mampu berhipotesis

3.       Moral
Kohlberg memberikan tahapan perkembangan berdasarkan pengambilan kepitusan moral. Usia tidak selalu selaras dengan tingginya tahapan moral seseorang. Tahapannya, menurutnya, hanya dapat dimulai diukur pada seseorang mulai 4 tahun ke atas karena bayi dianggap belum dapat memutuskan.
a.       Pra Konvensional (4-10 tahun)
                                                               i.      Kepatuhan (menghindari hukuman fisik)
                                                             ii.      Kepuasan diri (mendapat hadiah)
b.      Konvensional (10-13 tahun)
                                                               i.      Anak baik (menyelaraskan dengan lingkungannya)
                                                             ii.      Hukum dan Peraturan (kewajiban)
c.       Post Konvensional (tidak semua orang masuk dalam tahap ini)
                                                               i.      Konsensus Umum (keputusan moral berdasar standar umum dan penghormatan pada hak-hak individu
                                                             ii.      Etis Universal (hak azasi dan martabat serta kebahagiaan seseorang menjadi dasar pengambilan keputusan etis, bukan mempertimbangkan usia, dsb)

4.       Iman
Fowler menggagas teori tentang bagaimana kepercayaan itu berkembang dalam hidup seseorang.
a.       Undifferentiated Faith (0-2 tahun)
Bayi menerima semua nilai dari lingkungan tanpa mampu membedakan karena kesadarannya belum terbentuk
b.      Intuitif-Proyektif (2-6 tahun)
Pada tahap ini seseorang mulai mempelajari dunia dengan imajinasinya. Kepercayaannya berkait dengan imajinasinya. Ia berimajinasi tokoh panutan adalah seseorang yang selalu dapat dipercaya.
c.       Mitis Literal (7-11 tahun)
Seseorang mulai mengidentifikasikan diri pada kelompok agama tertentu dan menghidupi nilai yang diterimanya.
d.      Sintesis Konvensional (12-19 tahun)
Seseorang mulai berpikir kritis dan tidak begitu saja mempercayainya. Dalam mencari identitas diri, ia mulai memilih mana yang ia layak dan tidak layak untuk dipercayai
e.      Individuatif Reflektif
Tahap ini tidak terbatas usia, pada tahap ini seseorang benar benar mandiri memikirkan apa yang dia percaya tanpa terbatas pada pemikiran kelompok atau lingkungannya
f.        Konjungtif
Pada tahap ini seseorang mulai dapat melihat kepercayaan yang berbeda dan menerimanya.
g.       Universal
Pada tahap ini, kepercayaannya diyakini adalah sesuatu yang universal, baik bagi semua, dan tidak terbantahkan secara umum. Hanya sedikit yang mencapai taraf ini karena kepercayaannya pada nilai universal menolongnya untuk mampu melihat kemanusiaan dan ke-Tuhan-an secara luas dan jernih.

Belajar Dari Sejarah

Kita telah menghidupi pembinaan kategorial ini sejak lama, bahkan sebelum buku tentang ini diterbitkan. Pada tahun 1940 an dan pasca Perang Dunia II, organisasi parachurch memikirkan betul pembinaan bagi kategori usia muda. Hal ini mendorong perkembangan yang signifikan munculnya pembinaan kategorial.

Pola pembinaan kategorial berhasilkah? Is the Era of Age Segmentation Over? Memang bisa saja seseorang mengklaim pembinaan kategorial berhasil dalam sisi tertentu, misalkan pembinaan kognisi (pikiran). Namun kenyataannya, Rainer Research memperkirakan 70 persen generasi muda meninggalkan gereja di usia 22 tahun. Barna Group memprediksi bahwa hal ini akan bertambah menjadi 80 persen di usia 30 tahun. Kenyataan ini sedikit banyak membuktikan bahwa upaya pembinaan ini dirasa kurang relevan lagi mempertahankan seseorang ‘merasa at home’ di gereja.

Lihatlah dalam 3 tahun terakhir Persidangan Majelis Sinode Wilayah GKI SW Jateng membicarakan tentang kepemudaan yang hilang. Saling menyalahkan? Ya. Terpenjara dengan kategori, alih-alih memikirkan bersama sebuah terobosan teologi baru, generasi kategori tua dan generasi muda saling menuding. Generasi tua menganggap generasi muda gagal, generasi muda menganggap generasi tua tidak memberi ruang. Dan anehnya, upaya perubahannya masih menggunakan pola segmented. Membuat grup muda, kebaktian muda, persekutuan muda, dan sebagainya? Benarkah anak muda mau dikelompokkan?

Apa ekses buruk dari pelayanan kategorial?
a.       Kesamaan
Basis dari pelayanan kategorial adalah adanya kesamaan. Sama usia, sama minat, dsb. Kesamaan ini menjemukan bukan? Pendidikan model ini menciptakan ingruoup dan outgroup. Pembinaan yang memisahkan, alih-alih mempersatukan.
b.      Kurang memperhatikan keragaman spiritualitas
Selain soal perkembangan psikologis, ada juga keragaman spiritual. Tengoklah 9 corak spiritualitas. Kelompok yang terbiasa dengan kesamaan akan mengalami dorongan untuk terus membangun kesamaan yang lain. Bisa jadi kesamaan corak spiritualitas ini juga adalah seleksi alam yang muncul dan dibangun dalam kelompok usia itu. Misalkan pemuda, bercorak antusias sedang lansia tradisonal, yang kemudian tanpa perjumpaan menjadi pertentangan yang semakin memisahkan umat dalam gereja, bahkan dalam keluarga.
c.       Mengabaikan faktor keteladanan lingkungan
Semua teori perkembangan itu mendasarkan diri pada lingkungan. Namun dengan mengumpulkan orang yang sama, pendidikan iman dalam perjumpaan tidak tercapai. Sebagai contoh, seseorang yang berada pada tahap awal akan melihat orang yang sama. Padahal perkembangan dapat berjalan jauh lebih baik ketika muncul pembelajaran dengan berjumpa dengan orang di tahap yang berbeda. Sekaligus orang yang sudah ditahap lebih tinggi (bahasa saja, bukan bermaksud hirarkis), bisa menyempurnakan tahap sebelumnya dalam perjumpaan.

Bukan hanya itu, keteladanan dalam kurikulum tersembunyi juga tidak hidup tanpa keteladanan. Misalkan, anak dicekoki dengan kognisi, tetapi afeksinya tidak tumbuh karena mereka berjumpa dengan kenyataan yang berbeda. Mereka diajarkan untuk tidak berbohong tetapi perjumpaan dengan usia lain penuh kebohongan. Mereka diajarkan komunikatif, tetapi perjumpaan di gereja penuh dengan semangat dominasi. Mereka diajarkan bersih, tetapi gereja kumuh. Mereka diajarkan tepat waktu, tetapi banyak warga gereja terlambat. Kurikulum yang diajarkan tidak selaras dengan kenyataan (kurikulum tersembunyi).

Dengan mengalami bersama (intergenerasi dan multigenerasi), semua akan belajar bukan hanya mencipta kurikulum pembinaan yang ditulis seabreg-abreg tetapi menghidupnya sebagai keteladanan dan kurikulum tersembunyi.

Keteladanan ini juga penting, mengingat soal pembiasaan bersama menghidupi nilai. Meski anak secara kognisi lemah, anak akan belajar meniru (mimesis) hal baik (meski juga hal buruk) dalam perjumpaan bersama. Pembiasaan ini disebut juga habituasi. Seorang rekan berkata, tak masalah pembinaan itu bersama meski anak tidak tahu. Toh anak akan menyukai susu yang mereka tidak tahu untuk apa susu itu? Akhirnya mereka tahu itu hal baik dan tetap akan mengikutinya, bukan?

Pendekatan kognisi juga tidak sepenuhnya efektif. Mengapa? Siapa yang ingat khotbah tiga minggu lalu? Bukankah yang teringat biasanya hanya pada contoh-contoh yang relevan? Keteladanan hidup bersama dalam perjumpaan, jauh lebih terserap ketimbang pendekatan kognisi. Anak tahu bagaimana bersikap hormat pada Tuhan melalui teladan, bukan? Tidak menyalakan nada dering diketahui karena adanya pembelajaran bersama (bahkan melalui pengalaman memalukan), bukan?
d.      Menyuburkan Pemahaman ‘Pengganggu’
Keberadaan anak-anak (meski di abad ke-18 dan ke-19 mereka bersama dengan baik dalam gereja dengan orang tua) sekarang dianggap pengganggu kekhidmatan ibadah. Keberadaan orang tua di kelompok muda dianggap sebagai pembuat tidak nyaman. Mengapa ini terjadi? Ya karena munculnya eksklusifisme kategori. Alhasil, ini akan semakin menumbuhkan gereja dalam gereja. Bukankah anak-anak pada fitrahnya memang ramai? Kalau mereka diam, bukankah orang tua was-was dan menduga dia sakit? Apakah orang tua tidak bisa belajar bersama? Bukankah orang tua yang ingin mencapai tahap tertinggi seperti kategori di atas harus belajar tetap merasakan indahnya kebaktian bersama anak-anak yang riuh?
e.      Mendidik Calon Anggota Gereja Lain
Hal yang menyedihkan adalah adaptasi dengan pola-pola tertentu dari komunitas lain. Anak sekolah minggu tidak terbiasa dengan liturgi GKI. Remaja pemuda juga demikian. Saat masuk ke umum mereka kaget dan merasa tidak nyaman karena selama belasan tahun mereka beribadah dengan cara yang berbeda. Bukan hanya itu, mereka terbiasa dengan orang yang sama. Saat beralih ke umum, mereka bertemu dengan orang yang berbeda. Mereka gagap, akhirnya mereka mencari tempat yang sama dengan dirinya, di luar GKI.
f.        Anti Keragaman
Bahaya dari hal ini adalah adanya sikap anti keragaman karena mereka tidak siap dengan yang berbeda. Hal ini menciptakan fanatisme. Bukankah anggota GKI, tidak jarang, bersikap gagap dengan agama lain dan gereja lain? Bahkan perayaan natal pun harus per komisi? Bahkan gagap rasa dan hanya kognitif oriented, bukan?
g.       Apalagi? Mari berdiskusi!

Corak Spiritualitas

Salah satu teori corak spiritualitas digagas oleh Gary Thomas.
a.       Naturalis: yang menemukan Tuhan melalui ciptaan-Nya.
b.      Indrawi: yang menemukan Tuhan melalui indra yang dimilikinya
c.       Tradisionalis: yang menemukan Tuhan ritual yang konstan dan tetap
d.      Askese: yang menemukan Tuhan melalui kesendirian (menarik diri)
e.      Aktivis: yang menemukan Tuhan melalui tindakan pembelaan bagi yang tertindas
f.        Pemerhati: yang menemukan Tuhan melalui kepedulian pada mereka yang berkekurangan
g.       Antusias: yang menemukan Tuhan melalui ibadah yang bersemangat
h.      Kontemplatif: yang menemukan Tuhan melalui keheningan dan refleksi
i.         Intelektual: yang menemukan Tuhan melalui pengetahuan.

Apakah kita akan membagi kategori ke kategori lain? Atau menambahkan kategori usia yang sudah ada dengan kategori corak spiritualitas? Bila nanti ada pemetaan lain, apakah juga kita akan menambahkannya lagi? Obesitas Kegiatan tetapi sepi dampaklah yang akan kita tuai. Belum lagi sumber daya manusia dan dana yang dibutuhkan karena kategorisasi ini begitu banyak. Mungkin sudah waktunya kita melakukan manufer penataan pembinaan iman intergenerasional dan interspiritualitas di gereja kita. Senin sampai sabtu, orang tua anak sudah terpisah, apakah minggu gereja juga memisahkan? Perjumpaan dalam keberagaman akan menjadi pembelajaran yang kuat dan menarik untuk menciptakan penghargaan. Orang tua tidak lagi memasrahkan peran pembinaan iman hanya pada guru sekolah minggu atau pengajar remaja, melainkan bersama dengan gereja, mereka hadir bagi anak-anaknya. Demikian pula anak-anak hadir bagi orang tuanya. Sekedar melihat kembali ke masa lalu, gereja berkembang pesat bukan dalam pembinaan kategori. Persekutuan umat Tuhan, diawali dengan sebuah perjumpaan dan kebersamaan. Anak-anak duduk di sekeliling Yesus bersama orang tua. Yesus berkata, ‘Biarlah anak-anak itu datang kepada-Ku’, bukan?

Pan-Gesang, 27 Oktober 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar