Kilas Sejarah
Departemen Pembinaan
BPMS GKI Jawa Tengah, tahun 1994 menerbitkan sebuah buku berjudul Pola Dasar Pendidikan – Pembinaan Dalam
Rangka Pembangunan Jemaat Gereja Kristen Indonesia Jateng. Buku ini digagas
oleh 20-an peserta Pertemuan Studi dan Lokakarya tentang Pembinaan Jemaat.
Isinya adalah penjelasan pentingnya pembinaan kategorial.
Pembinaan iman – pendidikan
iman Kristen, adalah proses belajar yang berkesinambungan. Pendidikan ini
berlangsung dari anak sampai usia lanjut. Meski dalam buku ini digagas
pelayanan yang tersegmentasi, namun ditegaskan bahwa pelayanan kategorial dari
beragam kategori itu bergerak bersama sebagai sebuah kesatuan.
Dasar dari pendidikan
iman ini adalah psikologi perkembangan yang dipahami sebagai sebuah alur yang
bergerak maju. Tujuannya adalah menolong seseorang – umat – untuk mengalami
peningkatan dari tahap satu (lebih rendah) ke tahap berikutnya yang lebih
tinggi. Beberapa teori perkembangan yang menjadi dasar pembangunan pelayanan
kategorial GKI SW Jateng adalah:
1.
Psikososial
Erikson
menyatakan bahwa manusia memiliki delapan tahap perkembangan. Namun semua tahap
perkembangan diri itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan (sosial) seseorang.
Dalam pengamatannya, Erikson memahami bahwa meskipun seseorang tidak berhasil
baik dalam malampaui suatu tahap, hal itu dapat disempurnakan di tahap
berikutnya. Adapun tahapan perkembangan psikososial itu adalah:
a.
Kepercayaan
Dasar vs Kecurigaan Dasar (0-2 tahun)
Bayi belajar mempercayakan diri
pada lingkungan. Kepercayaan bergantung pada rasa aman yang ditimbulkan oleh
lingkungannya.
b.
Otonomi vs
Rasa Malu/Bimbang (2-4 tahun)
Pengendalian
tubuh (diri) anak melahirkan rasa percaya diri akan kemampuannya.
c.
Inisiatif
vs Rasa Bersalah (4-5 tahun)
Apresiasi dan respon positif
melahirkan inisiatif yang baik, sebaliknya cercaan akan menghambat perkembangan
karena dipengaruhi rasa bersalah
d.
Produktifitas
vs Rendah Diri (6-11 tahun)
Apresiasi dan
respon positif akan menolong anak semakin produktif
e.
Identitas
vs Kebingungan Peran (12-18 tahun)
Peran-peran dipelajari pada tahap sebelumnya. Pada masa remaja mereka
mulai membangun identitas dalam peran-peran yang mereka pilih dan jalani. Bila
mereka berhasil dengan baik mengenali peran dan membentuknya dalam identitas,
mereka akan memasuki tahap selanjutnya dengan lebih baik. Sebaliknya, bila
mereka gagal, mereka akan mengalami krisis identitas yang berlanjut ke masa
dewasa.
f.
Keintiman
vs Isolasi (19-30 tahun)
Identitas diri yang terbangun
sebelumnya, menolong seseorang untuk dapat berbagi peran dalam keintiman dengan
orang lain (termasuk lawan jenis). Perasaan terisolasi atau tersingkirkan
biasanya muncul karena kebingungan peran di tahap sebelumnya.
g.
Generatifitas
vs Stagnasi (31-55 tahun)
Dalam masa ini, keinginan untuk
berkarya maksimal sangat tinggi. Seseorang mulai belajar memimpin dan mengatur
serta memelihara.
h.
Keutuhan vs
Keputusasaan (55 tahun ke atas)
Kepuasan pada
masa sebelumnya menolongnya merasa tenang dan utuh di masa tua.
2.
Kognitif
Jean
Piaget menggagas tahapan perkembangan kognitif dengan ‘menekankan pada kesiapan
seseorang untuk siap mengakomodasi dan asimilasi’ terhadap perubahan pemahaman
yang terus terjadi dalam hidup.
a.
Tahap
Sensorimotoris (0-2 tahun)
Bayi dianggap belum bisa berpikir.
Ia hanya menuruti perasaan (bukan kognisi). Pembelajaran pada bayi berkaitan
hanya dengan tubuh dan perasaan saja
b.
Tahap
Pra-Operation (2-7 tahun)
Anak kecil mulai dapat berpikir hanya dikuasai oleh intuisi dan
khayalan. Mereka belum dapat berpikir sistematis (melompat-lompat dan
seenaknya)
c.
Tahap
Operasi Konkrit (7-11 tahun)
Anak yang lebih besar mulai dapat
berpikir logis tetapi hanya berdasar pada obyek yang konkret (bukan abstrak)
d.
Tahap
Operasi Formal (11 tahun ke atas)
Di tahap ini, seseorang dapat
berpikir logis, sistematis, abstrak, dan mampu berhipotesis
3.
Moral
Kohlberg
memberikan tahapan perkembangan berdasarkan pengambilan kepitusan moral. Usia
tidak selalu selaras dengan tingginya tahapan moral seseorang. Tahapannya,
menurutnya, hanya dapat dimulai diukur pada seseorang mulai 4 tahun ke atas
karena bayi dianggap belum dapat memutuskan.
a.
Pra
Konvensional (4-10 tahun)
i.
Kepatuhan
(menghindari hukuman fisik)
ii.
Kepuasan
diri (mendapat hadiah)
b.
Konvensional
(10-13 tahun)
i.
Anak baik
(menyelaraskan dengan lingkungannya)
ii.
Hukum dan
Peraturan (kewajiban)
c.
Post
Konvensional (tidak semua orang masuk dalam tahap ini)
i.
Konsensus
Umum (keputusan moral berdasar standar umum dan penghormatan pada hak-hak
individu
ii.
Etis
Universal (hak azasi dan martabat serta kebahagiaan seseorang menjadi dasar
pengambilan keputusan etis, bukan mempertimbangkan usia, dsb)
4.
Iman
Fowler
menggagas teori tentang bagaimana kepercayaan itu berkembang dalam hidup
seseorang.
a.
Undifferentiated Faith (0-2 tahun)
Bayi menerima semua nilai dari
lingkungan tanpa mampu membedakan karena kesadarannya belum terbentuk
b.
Intuitif-Proyektif
(2-6 tahun)
Pada tahap ini seseorang mulai
mempelajari dunia dengan imajinasinya. Kepercayaannya berkait dengan
imajinasinya. Ia berimajinasi tokoh panutan adalah seseorang yang selalu dapat
dipercaya.
c.
Mitis
Literal (7-11 tahun)
Seseorang mulai mengidentifikasikan
diri pada kelompok agama tertentu dan menghidupi nilai yang diterimanya.
d.
Sintesis
Konvensional (12-19 tahun)
Seseorang mulai berpikir kritis dan
tidak begitu saja mempercayainya. Dalam mencari identitas diri, ia mulai
memilih mana yang ia layak dan tidak layak untuk dipercayai
e.
Individuatif
Reflektif
Tahap ini tidak terbatas usia, pada
tahap ini seseorang benar benar mandiri memikirkan apa yang dia percaya tanpa
terbatas pada pemikiran kelompok atau lingkungannya
f.
Konjungtif
Pada tahap ini seseorang mulai dapat
melihat kepercayaan yang berbeda dan menerimanya.
g.
Universal
Pada tahap ini, kepercayaannya diyakini adalah
sesuatu yang universal, baik bagi semua, dan tidak terbantahkan secara umum.
Hanya sedikit yang mencapai taraf ini karena kepercayaannya pada nilai
universal menolongnya untuk mampu melihat kemanusiaan dan ke-Tuhan-an secara
luas dan jernih.
Belajar Dari Sejarah
Kita telah menghidupi
pembinaan kategorial ini sejak lama, bahkan sebelum buku tentang ini
diterbitkan. Pada tahun 1940 an dan pasca Perang Dunia II, organisasi parachurch memikirkan betul pembinaan
bagi kategori usia muda. Hal ini mendorong perkembangan yang signifikan
munculnya pembinaan kategorial.
Pola pembinaan
kategorial berhasilkah? Is the Era of Age
Segmentation Over? Memang bisa saja seseorang mengklaim pembinaan
kategorial berhasil dalam sisi tertentu, misalkan pembinaan kognisi (pikiran).
Namun kenyataannya, Rainer Research memperkirakan 70 persen generasi muda
meninggalkan gereja di usia 22 tahun. Barna Group memprediksi bahwa hal ini
akan bertambah menjadi 80 persen di usia 30 tahun. Kenyataan ini sedikit banyak
membuktikan bahwa upaya pembinaan ini dirasa kurang relevan lagi mempertahankan
seseorang ‘merasa at home’ di gereja.
Lihatlah dalam 3 tahun
terakhir Persidangan Majelis Sinode Wilayah GKI SW Jateng membicarakan tentang
kepemudaan yang hilang. Saling menyalahkan? Ya. Terpenjara dengan kategori,
alih-alih memikirkan bersama sebuah terobosan teologi baru, generasi kategori
tua dan generasi muda saling menuding. Generasi tua menganggap generasi muda
gagal, generasi muda menganggap generasi tua tidak memberi ruang. Dan anehnya,
upaya perubahannya masih menggunakan pola segmented.
Membuat grup muda, kebaktian muda, persekutuan muda, dan sebagainya? Benarkah
anak muda mau dikelompokkan?
Apa ekses buruk dari
pelayanan kategorial?
a.
Kesamaan
Basis dari pelayanan kategorial adalah adanya kesamaan. Sama usia, sama
minat, dsb. Kesamaan ini menjemukan bukan? Pendidikan model ini menciptakan ingruoup dan outgroup. Pembinaan yang memisahkan, alih-alih mempersatukan.
b.
Kurang
memperhatikan keragaman spiritualitas
Selain
soal perkembangan psikologis, ada juga keragaman spiritual. Tengoklah 9 corak
spiritualitas. Kelompok yang terbiasa dengan kesamaan akan mengalami dorongan
untuk terus membangun kesamaan yang lain. Bisa jadi kesamaan corak
spiritualitas ini juga adalah seleksi alam yang muncul dan dibangun dalam
kelompok usia itu. Misalkan pemuda, bercorak antusias sedang lansia tradisonal,
yang kemudian tanpa perjumpaan menjadi pertentangan yang semakin memisahkan
umat dalam gereja, bahkan dalam keluarga.
c.
Mengabaikan
faktor keteladanan lingkungan
Semua
teori perkembangan itu mendasarkan diri pada lingkungan. Namun dengan
mengumpulkan orang yang sama, pendidikan iman dalam perjumpaan tidak tercapai.
Sebagai contoh, seseorang yang berada pada tahap awal akan melihat orang yang
sama. Padahal perkembangan dapat berjalan jauh lebih baik ketika muncul
pembelajaran dengan berjumpa dengan orang di tahap yang berbeda. Sekaligus
orang yang sudah ditahap lebih tinggi (bahasa saja, bukan bermaksud hirarkis),
bisa menyempurnakan tahap sebelumnya dalam perjumpaan.
Bukan
hanya itu, keteladanan dalam kurikulum tersembunyi juga tidak hidup tanpa
keteladanan. Misalkan, anak dicekoki dengan kognisi, tetapi afeksinya tidak
tumbuh karena mereka berjumpa dengan kenyataan yang berbeda. Mereka diajarkan
untuk tidak berbohong tetapi perjumpaan dengan usia lain penuh kebohongan.
Mereka diajarkan komunikatif, tetapi perjumpaan di gereja penuh dengan semangat
dominasi. Mereka diajarkan bersih, tetapi gereja kumuh. Mereka diajarkan tepat
waktu, tetapi banyak warga gereja terlambat. Kurikulum yang diajarkan tidak
selaras dengan kenyataan (kurikulum tersembunyi).
Dengan
mengalami bersama (intergenerasi dan multigenerasi), semua akan belajar bukan
hanya mencipta kurikulum pembinaan yang ditulis seabreg-abreg tetapi menghidupnya sebagai keteladanan dan kurikulum
tersembunyi.
Keteladanan
ini juga penting, mengingat soal pembiasaan bersama menghidupi nilai. Meski
anak secara kognisi lemah, anak akan belajar meniru (mimesis) hal baik (meski
juga hal buruk) dalam perjumpaan bersama. Pembiasaan ini disebut juga
habituasi. Seorang rekan berkata, tak masalah pembinaan itu bersama meski anak
tidak tahu. Toh anak akan menyukai susu yang mereka tidak tahu untuk apa susu
itu? Akhirnya mereka tahu itu hal baik dan tetap akan mengikutinya, bukan?
Pendekatan
kognisi juga tidak sepenuhnya efektif. Mengapa? Siapa yang ingat khotbah tiga
minggu lalu? Bukankah yang teringat biasanya hanya pada contoh-contoh yang
relevan? Keteladanan hidup bersama dalam perjumpaan, jauh lebih terserap
ketimbang pendekatan kognisi. Anak tahu bagaimana bersikap hormat pada Tuhan
melalui teladan, bukan? Tidak menyalakan nada dering diketahui karena adanya
pembelajaran bersama (bahkan melalui pengalaman memalukan), bukan?
d.
Menyuburkan
Pemahaman ‘Pengganggu’
Keberadaan
anak-anak (meski di abad ke-18 dan ke-19 mereka bersama dengan baik dalam
gereja dengan orang tua) sekarang dianggap pengganggu kekhidmatan ibadah. Keberadaan
orang tua di kelompok muda dianggap sebagai pembuat tidak nyaman. Mengapa ini
terjadi? Ya karena munculnya eksklusifisme kategori. Alhasil, ini akan semakin
menumbuhkan gereja dalam gereja. Bukankah anak-anak pada fitrahnya memang
ramai? Kalau mereka diam, bukankah orang tua was-was dan menduga dia sakit? Apakah
orang tua tidak bisa belajar bersama? Bukankah orang tua yang ingin mencapai
tahap tertinggi seperti kategori di atas harus belajar tetap merasakan indahnya
kebaktian bersama anak-anak yang riuh?
e.
Mendidik
Calon Anggota Gereja Lain
Hal
yang menyedihkan adalah adaptasi dengan pola-pola tertentu dari komunitas lain.
Anak sekolah minggu tidak terbiasa dengan liturgi GKI. Remaja pemuda juga
demikian. Saat masuk ke umum mereka kaget dan merasa tidak nyaman karena selama
belasan tahun mereka beribadah dengan cara yang berbeda. Bukan hanya itu,
mereka terbiasa dengan orang yang sama. Saat beralih ke umum, mereka bertemu
dengan orang yang berbeda. Mereka gagap, akhirnya mereka mencari tempat yang
sama dengan dirinya, di luar GKI.
f.
Anti
Keragaman
Bahaya
dari hal ini adalah adanya sikap anti keragaman karena mereka tidak siap dengan
yang berbeda. Hal ini menciptakan fanatisme. Bukankah anggota GKI, tidak
jarang, bersikap gagap dengan agama lain dan gereja lain? Bahkan perayaan natal
pun harus per komisi? Bahkan gagap rasa dan hanya kognitif oriented, bukan?
g.
Apalagi?
Mari berdiskusi!
Corak Spiritualitas
Salah satu teori corak
spiritualitas digagas oleh Gary Thomas.
a.
Naturalis:
yang menemukan Tuhan melalui ciptaan-Nya.
b.
Indrawi:
yang menemukan Tuhan melalui indra yang dimilikinya
c.
Tradisionalis:
yang menemukan Tuhan ritual yang konstan dan tetap
d.
Askese:
yang menemukan Tuhan melalui kesendirian (menarik diri)
e.
Aktivis:
yang menemukan Tuhan melalui tindakan pembelaan bagi yang tertindas
f.
Pemerhati:
yang menemukan Tuhan melalui kepedulian pada mereka yang berkekurangan
g.
Antusias:
yang menemukan Tuhan melalui ibadah yang bersemangat
h.
Kontemplatif:
yang menemukan Tuhan melalui keheningan dan refleksi
i.
Intelektual:
yang menemukan Tuhan melalui pengetahuan.
Apakah kita akan
membagi kategori ke kategori lain? Atau menambahkan kategori usia yang sudah
ada dengan kategori corak spiritualitas? Bila nanti ada pemetaan lain, apakah
juga kita akan menambahkannya lagi? Obesitas Kegiatan tetapi sepi dampaklah
yang akan kita tuai. Belum lagi sumber daya manusia dan dana yang dibutuhkan
karena kategorisasi ini begitu banyak. Mungkin sudah waktunya kita melakukan
manufer penataan pembinaan iman intergenerasional dan interspiritualitas di
gereja kita. Senin sampai sabtu, orang tua anak sudah terpisah, apakah minggu
gereja juga memisahkan? Perjumpaan dalam keberagaman akan menjadi pembelajaran
yang kuat dan menarik untuk menciptakan penghargaan. Orang tua tidak lagi
memasrahkan peran pembinaan iman hanya pada guru sekolah minggu atau pengajar
remaja, melainkan bersama dengan gereja, mereka hadir bagi anak-anaknya.
Demikian pula anak-anak hadir bagi orang tuanya. Sekedar melihat kembali ke
masa lalu, gereja berkembang pesat bukan dalam pembinaan kategori. Persekutuan
umat Tuhan, diawali dengan sebuah perjumpaan dan kebersamaan. Anak-anak duduk
di sekeliling Yesus bersama orang tua. Yesus berkata, ‘Biarlah anak-anak itu
datang kepada-Ku’, bukan?
Pan-Gesang, 27 Oktober
2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar