12 September 2019

Sadar Perubahan Zaman, Menyelamatkan Generasi Mendatang - Pdt. Andri Purnawan


PETA PERUBAHAN ZAMAN
Sampai tahun 1950, Indonesia masih berada di zaman yang oleh Alvin Tofler dinamakan era pertanian (ciri: kehidupan tergantung pada pertanian, pada musim, orang sempat tidur siang - dan tidur kapan saja dia mau, karena pekerjaan tidak banyak dan tempat kerja pun tidak jauh dari rumah). Pembagian peran laki-laki dan perempuan juga jelas. Laki-laki ke sawah, perempuan mengurus rumah, anak-anak, ternak ayam dan menumbuk padi di halaman. Hubungan antargenerasi tua-muda bersifat mewariskan. Artinya, pengalaman generasi terdahulu akan berlaku juga untuk generasi yang akan datang. Karena hampir tidak ada perubahan lingkungan, nasihat orang tua rata-rata pas saja buat anak.
Tetapi, pada saat Indonesia masih berada dalam era pertanian, bahkan di Irian masih ada yang hidup dalam zaman batu (kala itu-1950), di Eropa dan Amerika orang sudah hidup dalam era industri di mana segala sesuatu bergantung pada mesin. Sebagian tenaga orang digantikan oleh tenaga mesin. Orang dipacu bekerja sesuai dengan irama mesin. Orang sudah mengenal pembagian jam kerja dan pembagian kerja. Pendidikan makin maju, termasuk pendidikan untuk wanita. Karena itu, pembagian kerja pria-wanita pun berubah. Wanita bisa juga bekerja di pabrik. Bahkan wanita pun bisa menjadi bosnya laki-laki.
Perubahan dari era pertanian ke era industri ini di Eropa dan Amerika berjalan lebih dari 100 tahun. Itu sangat cepat jika dibandingkan dengan era pertanian yang reatif tidak berubah selama ribuan tahun. Karena perubahan cepat ini, di Eropa dan Amerika sudah terjadi beberapa revolusi sosial-politik. Mulai dari revolusi Prancis, di mana Ratu Maria Antoinette dipenggal kepalanya oleh massa rakyat, sampai revolusi anti-kaum borjuis di Rusia (yang melahirkan komunisme), sampai perang saudara di Amerika Serikat di mana Presiden Abraham Lincoln tewas di tangan penembak gelap.
GENERASI BUNGA
Di lingkungan keluarga dan masyarakat juga terjadi revolusi generasi muda. Anak-anak sudah tidak bisa dinasihati lagi oleh orang tuanya. Karena apa yang dinasihatkan itu sudah tidak cocok lagi dengan zamannya. Semua sudah berubah. Dulu belum ada TV, sekarang ada. Dulu belum ada telepon, sekarang ada. Pendidikan anak-anak pun sudah lebih tinggi daripada pendidikan orang tua. Bahkan, termasuk anak-anak perempuan. Maka, lahirlah "generasi bunga" Eropa dan AS (di sekitar tahun 1960) yang menyukai lagu-lagu rock, dan bersemboyan make love not war,
GENERASI X DI ERA INFORMASI/GLOBALISASI
Tetapi, ketika generasi bunga dari tahun 1960-an itu sendiri telah menjadi orang tua, mereka menghadapi anak-anak mereka yang lebih gawat lagi kelakuannya. Generasi tahun 1990-an diberi berbagai nama: generasi metal (karena menyukai berbagai musik metal), generasi hura-hura (karena malas, dan hidupnya mau senang melulu), atau generasi X (karena pola tujuan hidupnya tidak jelas dan doyan pil ecstasy).
Hal ini disebabkan oleh karena dunia sudah berubah lebih cepat lagi. Toffler menamakannya sebagai era informasi, sedangkan John Naisbitt menamakannya sebagai era globalisasi. Teknologi dan informasi sudah begitu canggihnya dan dapat tersebar ke seluruh pelosok dunia hanya dalam hitungan menit. Semua peristiwa di seluruh dunia akan diketahui di seluruh pelosok dunia pada hari yang sama. Bandingkan dulu: ketika Lincoln tewas di akhir abad lalu, orang Eropa baru mengetahuinya 14 hari kemudian. Apalagi ketika Columbus menemukan benua Amerika, Raja Spanyol (bosnya Columbus) baru mendapat beritanya 6 bulan kemudian.
Dunia sudah menjadi satu {global village), tak lagi terkotak-kotak menurut Negara/ daerah. Teknologi komunikasi makin canggih dan ringkas sehingga bisa mencapai hampir semua individu tanpa mengenal umur dan kelas sosial-budaya. Pemanfaatannya bisa positif ataupun negatif. Di sisi lain, perkembangan teknologi Biologi juga mengalami perkembangan pesat. Misalnya Keluarga Berencana (hubungan seks tanpa hamil), pengobatan infertilitas (hamil tanpa hubungan seks), pengobatan berbagai penyakit genetika, vitamin untuk memperpanjang usia, dsb. Itu semua berakibat bahwa manusia makin lama makin memegang kendaii terhadap nasibnya sendiri maupun lingkungannya. Dan, itu pasti berdampak pada spiritualitas manusia. Penghayatan relasi manusia dengan Tuhan secara sadar atau tidak pasti berubah. Lalu terjadi perubahan norma besar-besaran yang merembet ke berbagai bidang kehidupan lainnya, termasuk gaya berbusana, gaya berbicara, tata pergaulan, dan sebagainya.
GENERASI Y
Generasi Y merupakan lanjutan dari Generasi X, di mana anak-anak zaman sekarang makin canggih. Mereka hidup di era sinyal 3G (dari bahasa Inggris: third-generation technology). Akses cepat ke internet dengan bandwidth sampai 384 kilobit setiap detik ketika alat tersebut berada pada kondisi diam atau bergerak secepat pejalan kaki, bahkan HSDPA {High-Speed Downlink Packet Access yang bisa 5x lebih cepat dari 3G) dan HSUPA {High-Speed Uplink Packet Access). Anak-anak sudah kenal dan malah tak asing dengan telepon, handphone, komputer, laptop, menjelajah dunia maya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Apalagi sekarang sedang marak komputer tablet dengan berbagai ukuran dan variasi kecanggihan. Sejak dini, mereka sudah mulai bergabung dengan beberapa social network (jejaring sosial, seperti facebook, twitter, Hi5, BBM group, dsb). Kecanggihan teknologi membuat anak - anak lebih mudah mengakses semua hal.
DAMPAK PERUBAHAN ERA'TERHADAP SPRITUALITAS ANAK DAN REMAJA
Hams diakui, teknologi menjadikan hidup manusia makin mudah, cepat dan tanpa batas. Manusia bisa menjadi pribadi mandiri dalam belajar. Sebab dengan mesin pencari (misalnya Google) orang bisa belajar banyak hal. Itulah sisi positifnya. Namun tak bisa diingkari pula, perkembangan sangat cepat ini telah menimbulkan suatu kejutan budaya bagi orang Indonesia. Dari perspektif spiritualitas, berikut hal-hal yang perlu kita waspadai:
  1. Individualisme Iman
    Di Jepang muncul fenomena Hikikomori, menunjuk pada orang-orang yang menjauhkan diri dari lingkungan sosial dengan mengurung diri di dalam kamar selama berbuan-bulan, bertahun-tahun bahkan ada sampai ada yang puluhan tahun. Hikikomori terjadi karena orang merasa tidak perlu lagi berelasi langsung dengan orang lain untuk bisa hidup. Manusia bukan lagi makhluk sosial, melainkan makhluk individual yang bisa hidup secara otonom. Celakanya, ini bisa berpengaruh pada penghayatan iman seseorang. Hubungan dengan Tuhan berubah menjadi ranah pribadi. Keselamatan menjadi ranah pribadi. Pola hidup beragama menjadi eksklusif. Dan, pada akhirnya, iman tak punya sumbangsih apa pun dalam mentransformasikan hidup bersama dalam masyarakat.
    Memang, sekarang, Alkitab dan interpretasinya bisa diakses dari mana saja. Renungan, artikel, sampai karya tulis teologi tak harus diakses melalui Gereja. Khotbah yang menarik dan berbobot ada di radio, internet, dsb. Tetapi, keluarga-keluarga Kristen punya masalah serius terkait dengan tiga tugas utama dari Allah, yakni bersekutu, bersaksi dan melayani.
  2. Information Overload
    Merupakan istilah yang dipopulerkan Toffler (1970, Future Shock), terminologi ini pertama kali diungkap Bertram Gross (1964) untuk menggambarkan bahwa seseorang setiap hari dibombardir informasi berlebih yang belum tentu kebenarannya sehingga bisa mengalami kejenuhan, kebingungan, bahkan kesesatan.
    Sadar atau tidak, melalui berbagai media informasi dari buku, radio, televisi, website, blog dan forum-forum diskusi lain, sekarang ini beredar banyak ajaran iman dan etika yang tak dapat dipertanggunjawabkan. Fundamentalisme, rasialisme, primordialisme, bertebaran di era kebebasan tanpa batas. Website-website yang berplatform Kristen (seperti forumkristen.com, in-christ-net, sarapanpagi.biblika, eklesia, jodohrohani.com, believer, dsb ) sekalipun, terkadang memuat ajaran yang saling bertolak belakang satu dengan lainnya. Yang lebih berbahaya lagi jika informasi-informasi rendah validitas tersebut menyerbu melalui broadcast message BBM, email, spam, advertisement website, status orang di Facebook ataupun twitter, dsb. Bayangkan betapa besar ancaman spritualitas yang dialami oleh generasi penerus kita.
  3. Peran Tuhan Tak Lagi Dirasa Bagi Kehidupan
    Manusia bisa mendapatkan apa yang diinginkan dengan teknologi. Mereka yang menguasai teknologi berarti menguasai dunia. Asal ada uang orang bisa membeli teknologi. Jika sudah begitu semuanya seolah bisa dilakukan oleh manusia. Bahkan, sering, hidup mati seseorang pun seolah hanya ditentukan oleh selang, bukan oleh Tuhan. Dampaknya peran Tuhan tak lagi dirasa. Tuhan kurang dibutuhkan. Dan itu berarti setiap kehendak Tuhan siap diabaikan oleh manusia.
APA YANG HARUS DILAKUKAN?
  1. Memahami dan menerapkan "Teknologi dan Iman" sebagai persekutuan yang saling melengkapi. Albert Einstein menyatakan, "Faith without science is blind, and science without faith is cripple." Itu berarti bahwa baik teknologi maupun iman keduanya amat penting dan berguna dalam hidup ini. Keduanya tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Alkitab sendiri menyatakan bahwa kepada manusia Tuhan Allah memberikan mandat budaya dan mandat natural untuk menguasai alam ciptaan Tuhan dan menaklukkannya (Kejadian 1:27-28).Alkitab menyatakan kepada kita beberapa tuntunan yang jelas tentang Teknologi:
    1. Teknologi adalah Tugas. la adalah tugas yang diberikan Allah Pencipta langit dan bumi, jadi juga tugas yang diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus, Juruselamat dunia. Orang yang melakukan suatu penemuan, ia pun taat, dengan sadar atau pun tidak, kepada tugas yang dapat dibaca dari Kejadian 1 berbunyi, "Taklukkanlah bumi!" Dan, para pengguna penemuan-penemuan teknologi itu juga taat, dengan sadar atau pun tidak, kepada tugas itu.
    2. Teknologi dan Moral. Setiap orang percaya dapat menggali dan mempergunakan teknologi dengan taat dan bertanggung jawab kepada norma-norma Allah. Penyalahgunaan teknologi dapat ditahan oleh penggunaan teknologi secara positif sesuai dengan norma-norma Tuhan dan dengan perjuangan memberantas penyalahgunaan teknologi.
  2. Teknologi dan Iman diperkenalkan kepada anak-anak sedini mungkin, baik dalam keluarga, sekolah, lingkup pelayanan gereja atau di masyarakat luas, agar mereka melihat keduanya sebagai dua hal yang saling melengkapi. Orang tua sebisa mungkin mengikuti perkembangan yang ada agar bisa mendeteksi peta perubahan zaman dan mengenali kecenderungan-kecenderungan di dalamnya.
  3. Perlu diciptakan kondisi penyeimbang yang mempersiapkan generasi muda kita menjadi generasi bermental positif. Dengan cara:
    1. Menumbuhkan kesadaran sosial dan semangat hidup bersama (dengan membangun komunitas-komunitas positif di lingkungan keluarga, gereja, sekolah, dan masyarakat).
    2. Biarkan anak bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan, tetapi masih dalam batas wajar dan orang tua pun harus tetap mengawasi apa yang sebenarnya mereka lakukan di setiap harinya. Caranya: Tanyai atau ajak anak-anak untuk mengekspresikan atau menceritakan kejadian hari ini, entah di sekolah, di lingkungan sekitar bahkan di dunia maya. Buatlah anak-anak merasa nyaman dengan yang mereka ceritakan, bukan malah merasa sebaliknya. Dengan seperti itu, orang tua jadi lebih tahu dengan siapa saja mereka biasa bermain dan bergaul.
    3. Mencetak bahan-bahan literatur tentang tokoh-tokoh Kristen yang menjadi penemu-penemu dalam iptek seperti Sir Isaac Newton, Blaise Pascal, dsb.
    4. Berbagai bentuk pembinaan iman kepada siswa diisi materi yang seimbang antara iman dan iptek.
    5. Mendorong dan mendukung anak yang memiliki kemampuan intelektual yang baik untuk bisa terus belajar, baik berupa beasiswa maupun kemudahan lainnya.
    6. Memberlkan tuntunan moral Alkitabiah yang terus menerus agar ketika teknologi dikuasai dengan baik, itu tidak digunakan untuk kebanggaan diri dan bersifat destruktif, melainkan untuk memuliakan Tuhan dan bersifat konstruktif.
KESIMPULAN
Ketegangan antara iman dan teknologi itu kadang-kadang memang memberatkan orang-orang beriman. Akan tetapi, ketegangan ini sekaligus merupakan stimulans atau dorongan untuk memikirkan lebih mendalam lagi arti wahyu ilahi, yang bukan sekadar merupakan huruf-huruf mati, melainkan Sabda Allah yang hidup dan menghidupkan segala zaman. Dalam pembangunan modern, agama (baca: Kekristenan) diharapkan memainkan peranan positif. Sumbangan itu hanya mungkin bila setiap orang percaya dapat meninggalkan pandangan dunia (worldvieW), kebiasaan dan struktur sosiologis zaman dahulu yang tidak memadai lagi.
Hal ini bukan berarti meninggalkan iman, melainkan menghayati iman yang tetap sama dalam bentuk, perwujudan, cara-cara yang sesuai bagi manusia abad XXI. Jika Kekristenan berhasil menjalankan perannya itu, ia dapat memberi sumbangan yang sangat berharga: membina manusia yang bertanggung jawab secara etis dan karena itu mampu menggunakan hasil iptek sehingga semua manusia dapat hidup dengan lebih baik.
Surabaya, 26 April 2012 Pdt. Andri Purnawan
DAFTAR PUSTAKA
  1. Agama dan Ilmu-ilmu Pengetahuan, (saduran dari Wilkes, Keith. Religion and the Science), Yayasan Cipta Loka Caraka dan Yayasan Perguruan Tinggi Katolik, 1977.
  2. Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1999.
  3. Carson, D.A. dan John D. Woodbridge (ed.), God And Culture, Jakarta: Momentum, 2002.
  4. Information Overload _ http://en.wikipedia.org/wiki/Information overload
  5. Sarwono, W. Sarlito, Psikologi Dalam Praktek, Jakarta : Restu Agung, 2005
  6. Schaeffer, Francis A. A Christian World View, Vol. 5: A Christian View of the West, Wheaton,Illinois: Crossway Books, 1993.
  7. Verkuyl, J. Etika Kristen: Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar